Perempuan Dan Jihad

PEREMPUAN DAN JIHAD

A.Pengertian Jihad.

Pengertian jihad menurut bahasa berasal dari kata jahada – yajhadu – jahdan yang berarti bersungguh-sungguh atau menghabiskan kekuatannya pada usaha. Dan juga berasal dari kata ja>hada – yuja>hidu – jiha>dan wa Muja>hadatan  yang berarti perang yakni perang dijalan Allah, perlawanan, kepayahan, berlawanan.  Dari segi bahasa secara garis besarnya, jihad dapat diartikan sebagai: Penyeruan (ad dakwah), menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kemungkaran (amar ma'ruf nahi munkar), Penyerangan (ghazwah), pembunuhan (qital), peperangan (harb), menahan hawa nafsu (jihad an-nafs).
Jadi sebenarnya jihad adalah bersungguh-sungguh memperjuangkan agama Allah, sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Jihad berarti perjuangan dengan sepenuh kekuatan untuk menegakkan ajaran Allah (li i‘la>I kalmia>tillah), untuk taat pada Allah. Perjuangan tidak disebut sebagai jihad yang sebenarnya, kecuali jika dimaksudkan untuk meninggikan kalimat Allah, menegakkan kebenaran, mencegak kebatilan dan mengerahkan sepenuh jiwa untuk mendapat ridlo Allah, ikhlas karena Allah saja.
Jihad dalam kaitannya dengan keindonesiaan, tidak berupa perang mengangkat senjata, karena dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah dinyatakan tentang penghapusan penjajahan atau peperangan mengangkat senjata ini.

B. Pensyariatan Jihad dalam Islam
   
Rasulullah Muhammad saw. Diutus oleh Allah sebagai Rasul untuk berdakwah kepada sumua manusia. Beliau diperintah untuk menyampaikan petunjuk Allah dan agama yang benar. Ketika Nabi berdakwah di Makkah dilaksanakan dengan cara damai, meskipun mendapatkan ancaman dan serangan yang hebat dari fihak kafir Quraisy. Ketika ada seorang sahabat yang mengusulkan pada Nabi untuk membalas kekejaman kafir Quraisy, Nabi menjawabnya: Kita tidak diperintahkan untuk itu, berdas
    Ketika kondisi permusuhan dari fihak kafir Quraisy sudah sangat genting dan keselamatan nyawa Nabi telah terancam, maka Nabi berhijrah ke Madinah setelah tiga belas tahun lamanya berdakwah di Makkah.firman Allah dalam Q S al-Mukminun:96, yang artinya : "Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan."
    Setelah Nabi berada di Madinah, ternyata permusuhan dan perlawanan kafir Quraisy, semakin menjadi-jadi dengan melakukan serangan-serangan kepada kaum Muslimin. Maka turun ayat surat al-Hajj ayat 39, yang artinya : "telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, .."
Dengan turunnya ayat ini, berarti Nabi diizinkan oleh Allah untuk menangkis setiap serangan musuh yang hendak menghancurkan Islam.
    Jadi jihad dalam Islam dilaksanakan untuk mempertahankan perjuangan, untuk melindungi jiwa setiap Muslim, untuk menjamin kelangsungan dakwah Islam, untuk menangkis perbuatan dlolim dan untuk kelangsungan penerapan hukum Islam di bumi. Bukan untuk menyerang atau mendlolimi fihak lain.

C. Bentuk-Bentuk Jihad dalam Agama Islam

    Berdasarkan pengertian pengertian jihad tersebut, maka bentuk-bentuk jihad antara lain adalah:
1.    Jihad Dakwah, yaitu mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan dan mencegah  kemungkaran, melalui pikiran,  pengetahuan dan tindakan.
2.    Jihad dengan pengerahan senjata (perang).
    "Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh."
3.       Berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa, sebagaimana firman Allah dalam  (QS Al Nisa>  ayat 95), yang artinya : "tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.
        Dan firman Allah dalam Quran surat al-Sha>f ayat 11, yang artinya : "(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui."
4.    Bejuang melawan nafsu, yaitu memerangi keinginan buruk dalam diri sendiri.
5.    Berjuang melawan godaan dan tipu daya setan.
6.    Jihad terhadap orang-orang kafir
7.    Jihad terhadap orang-orang munafik, yaitu mereka yang mengaku beragama Islam  tapi perilaku hidupnya tidak mengikuti ajaran Islam.

D. Lapangan Jihad bagi Perempuan

    Allah bersifat maha adil, termasuk dalam penetapan hukumnya terhadap lelaki dan perempuan. Dalam hal jihad ini, orang lelaki yang melakukan jihad, dijanjikan oleh Allah masuk surga, demikian juga perempuan. Lelaki dan perempuan diberi kesempatan oleh Allah untuk berjihad sesuai dengan kesanggupan dan kadar kemampuannya.
    Adapun lapangan jihad yang dapat dilaksanakan oleh perempuan antara lain, adalah:
1.    Membantu jihad di medan perang.
2.    Jihad melalui pendidikan.
3.    Jihad dalam keluarga / rumah tangga.
4.    Jihad dalam dakwah Islam
5.    Jihad dalam kepemimpinan.
6.    Jihad dalam menentang hawa nafsu.
7.    Jihad melalui karier.

Ad. 1. Jihad perempuan di medan perang.

Medan perang adalah medan yang keras, Allah tidak mewajibkannya pada perempuan, tetapi Allah mengganti pahala perang bagi perempuan dengan haji, sebagaimana hadits berikut:

Artinya: Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin rhohiyallahu ‘anha berkata : Aku minta izin untuk ikut berperang kepada nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda : Jihad kalian adalah Haji“. 

Artinya: Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin dari nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, istri-istri nabi bertanya apakah mereka wajib berjihad, beliau bersabda : Ya, jihad – bagi wanita – adalah Haji “
       Ibnu Hajar berkata : Ibnu Bat}al berkata : “ Semua hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah menerangkan bahwa jihad itu hukumnya tidak wajib bagi wanita. Akan tetapi hadits rosul yang berbunyi“ Jihad kalian adalah Haji “ bukan berarti perempuan tidak boleh ikut berperang (perempuan tidak wajib berperang namun ia boleh ikut berperang). Dan di dalam riwayat Ahmad bin Hambaldari‘Aisyah,berkata:
 “ Aku – ‘Aisyah – bertanya : Wahai rosulullah ! apakah wanita itu wajib berjihad? beliau menjawab : Jihad tanpa peperangan, yaitu Haji dan Umroh “. (Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Albani dalam kitab Idwaul Ghalil).
               Hadits-hadits tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada jihad Qitaal yaitu jihad berperang bagi wanita kecuali dalam keadaan darurat, yakni situasi defensive (mempertahankan diri). Jika seorang istri dari mujahid tinggal di rumah dan mengurusi kebutuhan suaminya, maka dia mendapatkan pahala yang sama dengannya (suaminya yang menjadi mujahid).
               Asma’ binti Yazid bertanya kepada Rasulullah saw. atas nama wanita, “Ketika mereka (kaum laki-laki) pergi berjihad, kami berada di samping kiri rumah untuk melindungi perbekalan mereka dan tinggal di rumah untuk mengurusi keluarga. Apakah kami tidak juga berhak mendapat pahala yang sama dari Allah?” Rasulullah saw. menjawab, “Tolong, pergilah dan katakan kepada para wanita yang kamu wakili bahwa dengan melakukan kewajibanmu kepada suamimu dengan cara yang baik, menjaga apa saja yang akan membuatnya senang dan mengikuti mereka dengan setia, maka kamu akan mendapatkan keridhaan Allah yang besar dan Dia akan memberikan kepadamu pahala yang sama sebagaimana pahala yang telah dijanjikan kepada laki-laki.”

Peranan Perempuan dalam Jihad pada Masa Nabi
Para muslimah di zaman shohabiyah memiliki ghiroh dan kecemburuan yang amat besar terhadap kewajiban jihad yang dibebankan kepada kaum laki-laki ini. Terbukti dengan pertanyaan-pertanyaan mereka dan keinginan mereka yang besar untuk turut serta dalam jihad.

Artinya: Dari Ummu Salamah bahwasanya ia mengatakan: “Wahai Rosululloh apakah laki-laki itu berperang sedangkan kamu (kaum wanita) tidak berperang sehingga kami bisa mati syahid, dan kami hanya mendapatkan setengah bagian dari harta warisan?” Maka Alloh menurunkan ayat : Dan janganlah kalian mengharapkan keutamaan yang Alloh lebihkan kepada sebagian dari kalian.”              
        Peperangan pada hakekatnya diwajibkan atas laki-laki, kecuali pada waktu-waktu darurat. Tapi tidak menutup kemungkinan perempuan ikut andil di dalamnya, untuk membantu para mujahid sebatas yang dapat dilakukan oleh perempuan. Bila  ini dilakukan  dengan ikhlas, pahalanya sama dengan orang yang berjihad..
Sejarah pun telah menuliskan, peranan wanita dalam peperangan. Ketika perang Yarmuk, Khalid bin Walid sebagai panglimanya menugaskan wanita, diantaranya Khansa`, untuk berbaris di belakang barisan laki-laki, tapi jaraknya agak jauh sedikit. Tugas mereka adalah menghalau prajurit laki-laki yang melarikan diri dari medan perang. Mereka dibekali pedang, kayu dan batu. Shafiyah binti Abdul Muthalib juga pernah membunuh seorang Yahudi pengintai. Peran mereka antara lain:

a.    membuat makanan dan memberi minum pasukan.

Dari Anas rhodhiyallahu ‘anhu berkata. Pada hari perang Uhud, manusia mengikuti perang bersama nabi shollallahu ‘alaihi wasallam “.. Anas berkata : “ Aku melihat ‘Aisyah binti Abi Bakar dan Ummu Sulaim keduanya berjalan dengan tergesa-gesa sehingga aku melihat gelang kaki keduanya, keduanya membawa tampat air dari kulit.” Perowi yang lain mengatakan: “Keduanya memindahkan tempat air dari kulit di atas punggung mereka kemudian menuangkannya pada mulut-mulut pasukan kemudian keduanya kembali dan menmgisinya kembali lalu menuangkannya lagi pada mulut-mulut pasukan.”.

Dari Ummu ‘Ithiyah ia berkata: “Aku pernah berperang bersama Rosululloh saw., pada tujuh peperangan. Aku berada di belakang ketika dalam perjalanan, saya membuat makanan dan mengobati orang-orang yang terluka.”

b. Mengobati dan merawat pasukan yang terluka

Dari Anas bin Malik ia berkata: “Rosululloh pernah berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita Anshor. Apabila beliau berperang para wanita itu memberi air minum kepada pasukan dan mengobati orang-orang yang terluka.”

Ad. 2. Jihad Melalui Pendidikan

Syauqi mengatakan “Ibu ibarat madrasah, jika kau persiapkan maka sesungguhnya anda sedang menyiapkan bangsa (besar) yang wangi keringatnya.” Wanita adalah guru pertama bagi sang anak, sebelum dididik orang lain. Sejak ruh ditiupkan ke dalam rahim, proses pendidikan sudah dimulai. Sebab mulai saat itu, anak telah mampu menangkap rangsangan-rangsangan yang dberikan oleh ibunya melalui pendengaran, perasaan dan penglihatan, sebagaimana firman Allah dalam Quran surat al-Sajdah ayat 9, yang artinya : "kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur."
     Ia mampu mendengar dan merasakan apa yang disuarakan dan dirasakan ibunya. Bila ibunya rajin sholat, membaca al-Qur an, dzikir, berdoa, maka setelah anak ini lahir akan meniru hal tersebut. Bila ibunya sering sedih, marah, dendam dan cemas, hal ini diakses dalam jiwa anak dan akan menjadi karakternya. Demikian juga sebaliknya, kalau ibunya senang, ikhlas, sabar, ridla>, tawakkal.
 Kemudian bertambah hari, minggu dan bulan, yang pada wakunya ia terlahir ke muka bumi. Dari nol hari, ia sudah berusaha memahami apa yang diajarkan oleh seorang ibu. Bila seorang ibu membiasakan anaknya dari kandungan sampai dewasa dengan adab-adab Islam, ia pun akan terbiasa dengan hal itu. Tapi sebaliknya, bila ibu membiasakan dengan adab-adab yang tidak Islami, iapun akan ikut seperti ibunya.         Saat inilah shibghah (cetakan) seorang ibu sangat berpengaruh pada anak. Karena perkembangan otak sangat cepat. Daya ingat masih kuat. Bagi seorang ibu perlu memperhatikan hal berikut :

a. Tarbiyah Ruhiyyah, meliputi:

1) Pendidikan Akidah.

Bagaimana seorang ibu mampu menanamkan akidah sedini mungkin, sehingga anak meyakini bahwa hidup ini atur oleh Allah pencipta alam yang selalu mengawasi semua prilaku hambanya. Kemudian meyakini bahwa apa yang terjadi pada manusia, pasti akan kembali pada sang khalik. Hal itu terangkum dalam rukun iman yang enam. Mendidik aqidah ini sebagaimana ditunjukkan oleh Allah dalam firmanNya surat Luqman ayat , yang artinya : "dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
Ketika anak besar, ia telah mengenal Tuhannya. Tidak lagi ragu dan bingung mencari jati diri. Siapakah aku? untuk apa aku hidup? siapakah yang harus aku sembah? Dan siapa yang diikuti dan dijadikan idola ?

2)  Pendidikan Ibadah

Ketika ibu menjalani kehamilan sampai melahirkan, tidaklah berat baginya untuk mengajak si calon bayi untuk ikut serta dalam melakukan ibadah harian. Seperti: sholat, puasa, baca Alquran, berdoa, berdzikir dan lain-lain. Setelah lahir dan berumur tujuh tahun ibu diperintahkan oleh Allah untuk mendidik sholat, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi, yang artinya : "Perintahlah anak-anakmu mengerjakan sholat ketika umur tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan sholatketika telah sampai usia sepuluh tahun dan pisahkan diantara mereka di  tempat tidur."
Dan firman Allah surat Thoha ayat 132, yang artinya : "dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa."
    Dalam proses jihad mendidik ibadah pada anak terutama sholat, ibu juga dituntut untuk selain mengajari, memperdengarkan bacaannya, memasukkan rada damai dan tenteram setelah sholat, juga dapat memberi tauladan pada anak-anak, jika tidak, maka tidak akan membawa hasil. Hal diillustrasikan dengan teladan yang disampaikan oleh Nabi dengan sabdanya, yang artinya : "Sholatlah kamu sekalian sebagaimana kamu sekalian melihat aku sholat."
Walau mungkin anak belum faham apa yang dilakukan dan diinginkan ibunya, tapi ketika ia menginjak dewasa (baligh), Insya Allah ibadah-ibadah tadi akan mudah dikerjakan. Karena sudah biasa melihat dan mendengar serta melakukan, sehingga takkan terasa berat menegakkannya.
    Uraian di atas seiring dengan hasil penelitian Prof. Dr.Zakiyah Daradjat dalam bukunya Pembinaan Mental, yang menyimpulkan bahwa kepribadian manusia atau jiwa anak, terbentuk melalui apa yang dilihat, didengar dan dirasa, baik disengaja maupun tidak.

3) Pendidikan Akhlak.
          
Pembiasaan akhlak yang baik tidak perlu menunggu anak dewasa. Sejak dini harus sudah dibiasakan. Sebab kebiasaan yang baik, kalau tidak dibiasakan dalam waktu yang lama, sangat sulit untuk menjadi akhlak atau karakter. Justru ketika kebiasaan baik tidak ada dalam diri manusia, dengan sendirinya kebiasaan buruk akan menghiasinya tanpa harus dibiasakan.
           Jika semenjak dalam kandungan seorang anak dibiasakan mencintai orang lain, maka ketika lahir, ia pun akan berusaha untuk mencintai orang lain. Apabila sifat-sifat sabar, tawadlu, itsar (mendahulukan orang lain), tabah, pemurah, suka menolong orang lain dan sebagainya dibiasakan, insya Allah ketika anak sudah paham dan mengerti, akhlak-akhlak tadi akan menghiasi kehidupannya.
           Oleh sebab itu, Rasul menganjurkan kepada para pemuda yang sudah waktunya nikah, untuk memilih calon istrinya seorang perempuan yang beragama dan berakhlak baik. Sebab dari perempuan inilah, akan terlahir generasi yang beragama dan berakhlak baik juga. Ibu seperti inilah yang akan mengajarkan tuntunan agama yang telah terbiasa dan tertathbiq dalam dirinya. Di antara tuntunan tersebut adalah akhlak yang mulia.

b.  Tarbiyah ‘Aqliyyah.

Kata seorang penulis puisi, “Otak tidak diasah, akan tumpul”. Pengasahan otak semenjak kecil akan lebih bagus, ketimbang jika sudah besar. Bagai sebuah pisau, semakin lama waktu mengasahnya, maka akan semakin tajam. Dalam nasyid juga disebutkan, “Belajar diwaktu kecil, bagai mengukir di atas batu”. Tapi seorang ibu juga harus bijaksana dalam hal ini. Jangan sembarangan dalam memberikan buku-buku bacaan, untuk mengasah otak. Cukup banyak buku-buku yang ingin menghancurkan generasi Islam.

c.   Tarbiyah Jasadiyyah.

Pendidikan inilah yang sering mendapat perhatian dan jadi topik pembicaraan para ibu yang baru mempunyai anak. Rangsangan-rangsangan ibu berupa olahraga balita, sangat membantu anak dalam perkembangan tubuhnya. Percepatan proses semenjak si anak tengkurap, merangkak, jalan dan lari, tidak bisa dibiarkan sendiri. Namun bantuan ibu untuk melakuan gerakan-gerakan itu sangatlah dibutuhkan anak. Karena pada hakikatnya, insting yang dimiliki anak belum mampu menjangkau apa yang harus ia lakukan agar bisa berbuat seperti orang dewasa.
Selain jihad melalui pendidikan sejak masa dini tersebut diatas, perempuan juga dapat melakukan pendidikan dinul Islam kepada murid dimana dia bisa mengajar, di Pondok Pesantren, di sekolah, di TPQ (Taman Pendidikan al Quran, di tempat pengajian, di tempat kursus, di panti asuhan bahkan di tempat mana saja dia bisa berinteraksi dengan masyarakat untuk memberi petunjuk kebenaran.

Ad. 3. Jihad dalam Rumah Tangga

a.    Mendampingi dan taat pada suami.

Termasuk jihadnya perempuan adalah melakukan kegiatan-kegiatan dengan penuh kesungguhan dan mencurahkan segala kekuatan untuk taat dan menegakkan ajaran Allah di dalam rumah tangga. Allah berfirman dalam Qur an surat al-Ahzab ayat , yang artinya : "dan hendaklah kamu tetap di rumahmu  dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu  dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait  dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
Suami shaleh kebanyakan dibelakangnya ada istri shalehah. Laki-laki dalam menjalankan tugasnya baik di dalam atau di luar rumah sering mendapat kendala ujian dan cobaan. Kegoncangan jiwanya kadang-kadang tidak mampu mengendalikannya sendiri. Peran dan batuan istri sangat dibutuhkan.
Istri yang shalehah selalu memberi dorongan untuk terus maju memberi siraman ruhiyyah agar tetap semangat dalam meniti perjuangan hidup, memberi peringatan untuk tetap berjalan di atas syariat Islam. Ketika suami sedang panas tidak selayaknya istri mengompori, tapi berusaha untuk meredam dan mendinginkan agar suami sadar dan sabar. Banyak sekali suami terjerumus ke lembah hina disebabkan istrinya tidak bisa membimbing ke arah yang baik. Juga tidak sedikit suami dulunya kurang baik setelah beristri sholihah justru ia makin membaik.
     Oleh sebab itu, wahai para perempuan shalehah marilah kita dukung suami untuk menjadi suami yang shaleh. Mencurahkan tenaga, pikiran, bahkan nyawa untuk tegaknya Islam di muka bumi dengan tidak membebaninya dengan masalah yang menekan jiwanya.
Semangat di medan dakwah dan juang tetap dikobarkan, diberikan waktu seluas-luasnya pada suami untuk mencurahkan waktu hidupnya untuk perjuangan Islam.
Istri selain sebagai motor bagi suami, ia juga mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap suaminya agar tercipta keluarga-keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah. Di antara kewajiban istri terhadap suami adalah : Taat Suami, Tidak Keluar rumah tanpa idzin suami, Tidak menjauhi tempat tidur suami, Iffah, Qona’ah dan ridlo dengan apa yang Allah berikan.Berhias dan memakai wangi-wangian. Melaksanakan tugas-tugas rumah tangga. Mendidik anak-anak. Berlemah lembut dan berkata-kata manis. Sembilan point ini bila mampu untuk menjalankan semua, Insya Allah suami bahagia di rumah dan semangat di medan dakwah.

b.    Merawat anak-anak

Jihad perempuan yang tidak bisa dilakukan atau digantikan oleh lelaki adalah melahirkan anak, yang diawali dari proses mengandung, melahirkan dan menyusui anak-anak. Allah berfirman dalam Qur an surat Luqman ayat 14, yang artinya : "dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu."
    Ketika seorang perempuan sedang hamil, ia sedang mengukir nasib hidup calon anaknya sepanjang hayat, malaikat sedang mencatat nasib kehidupan calon manusia ini, dia bahagia  atau celaka, dia rizkinya banyak atau terhalang, tentang jodohnya, tentang menentuan ajalnya.Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. ” Sesungguhnya setiap orang dihimpun penciptannya di dalam perut (rahim) ibunya, selama empat puluh hari dalam bentuknuthfah (air mani), kemudian menjadi‘alaqah (segumpal darah) dalam masa yang sama, kemudian menjadi mudlghah (segumpal daging) dalam masa yang sama pula, kemudian diutus malaikat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan ia diperintahkan untuk mencatat empat hal: rizkinya, ajalnya, amalnya, bahagia atai celakanya”. 
    Dalam masa proses penentuan nasib hidup calon anak ini, peran ibu yang sedang mengandung calon anak ini sangat penting. Perlu jihad seorang Ibu. Ia harus berjuang sekuat tenaga agar anak ini nasibnya baik dan bahagia dunia akhirat. Dengan bermunajat kepada Allah, shalat tahajjud, berdoa memohon kepada Allah, berdzikir, membaca Qur an, berprilaku baik, berjiwa baik, berhati ikhla>s, tawakkal, ridla>, dan roja>’ (penuh harap) kepada Allah, dermawan, agar catatan nasib kehidupan (qadla>’ Allah) terhadap anak ini baik.
    Dalam merawat anak ini, perempuan perlu dibekali dengan ilmu yang memadai tentang agama, kejiwaan, perkembangan anak, gizi, dan lainnya, agar anak tumbuh kembang menjadi anak yang shaleh shalehah, berkualitas jasmani dan rohaninya. Karena masa pembentukan dan masa yang paling menentukan adalah masa perawatan anak ini. Jika terlewat, tidak mendapat perhatian dan perawatan yang baik, maka akan kehilangan masa emas untuk mempersiapkan masa depan anak yang gemilang.

c.    Melaksanakan pekerjaan dalam rumah tangga.

Sebagaimana firman Allah dalam Qur an surat al-Nisa’ ayat 34, yang artinya : "Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)."
Ayat tersebut menerangkan bahwa istri yang shalehah hanya punya dua kewajiban saja, yaitu taat pada Allah dan suami dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada. Demikian juga disabdakan oleh Nabi, bahwa istri yang baik adalah menyenangkan bila dipandang dan mentaati bila diperintah.Hal ini menunjukkan bahwa yang asal tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah tangga. Kecuali bila diperintah oleh suaminya, maka ia wajib melaksanakannya. Melaksanakan perintah suaminya dengan sungguh-sungguh dan lkhlas serta ridlo, karena menyadari hal ini diperintah oleh Allah dan dalam rangka taat pada Allah, maka termasuk jihad.
    Istri yang merasa tidak mampu melaksanakan pekerjaan rumah tangga dan meminta pada suami untuk mempekerjakan pembantu rumah tangga dengan ongkos dari suami, dan  suami mengetahui serta memaklumi keterbatasan istri untuk melaksanakan pekerjaan rumah tangga tersebut, maka tidak ada kewajiban bagi istri melaksanakan pekerjaan tersebut. Karena suami adalah qowwam (penanggung jawab) atas istri.

Ad.4. Jihad dengan Dakwah.

Di samping perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pendidik generasi penerus, ia dalam satu waktu juga berperan sebagai da‘iyah (perempuan yang mengajak kebaikan) dan muballighoh (orang yang menyampaikan ajaran Allah), baik di dalam dalam rumah terhadap anggota keluarganya maupun di luar rumah, yaitu dakwah kepada sebagian anggota masyarakat.
Jumlah wanita di dunia ini lebih banyak dari pada jumlah laki-laki. Bila potensi ini tidak diarahkan dan dididik dengan baik, ia akan menjadi penghancur masyarakat, negara bahkan dunia. Suatu masyarakat dikatakan berhasil, bila para perempuannya berakhlak mulia. Perempuan bagaikan mahkota, bila mahkota baik, maka seluruhnya akan kelihatan cantik dan bagus. Tapi bila mahkotanya rusak, maka yang lainpun tidak ada artinya.
Seorang perempuan tidaklah cukup berkutat dalam rumah saja sebagai ibu rumah tangga, karena para tunas bangsa dan agama telah menunggu uluran tangannya. Apalagi pada saat ini, umat sedang mengalami penurunan akidah, moral dan ibadah. Perempuan tak segan-segan lagi melepas jilbabnya. Bahkan menanggalkan pakaian muslimahnya. Pelanggaran hukum Allah marak di mana-mana. Kondisi ini mengharuskan para perempuan ikut bangkit melakukan dakwah pada ummat.
Adalah Ummu Syarik, setelah masuk Islam, beliau mendakwahi perempuan-perempuan Qurasiy secara diam-diam dan mengajak mereka menerima Islam. Para ummul mukminin (istri Nabi) menyampaikan ajaran Islam kepada para perempuan Zainab Al-Ghazali adalah di antara figur perempuan modern penerus Ummu Syarik dan ummul mukminin.
    Allah memerintahkan ummat Islam, termasuk perempuan untuk berdakwah dan amar ma‘ruf  nahi munkar (mengajak kebaikan mencegah kemunkaran) dengan firmanNya, yang artinya : "serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah  dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."
    Dan firman Allah dalam qur an surat Ali ‘Imra>n ayat 104, yang artinya : "dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."
Lapangan jihad perempuan melalui dakwah ini, pertama berupa dakwah bi al lisan (dengan mulut) misalnya berupa pembicaraan biasa tetapi difokuskan pada ajakan kebaikan, sharing, ceramah, telphon, diskusi, seminar, sarasehan, siaran radio, televisi dan lain yang langsung dapatbdiakses oleh audiens melalui suara.
Kedua berupa dakwah bi al kita>bah (dengan tulisan), berupa tulisan yang dimuat dalam majalah, buku, koran, bulletin, brosur, internet, kirim sms dakwah dan lain-lain, sedangkan ketiga adalah dakwah bil hal (dengan tindakan atau bukti nyata), misalnya: keluar dari rumah dengan berpakaian menutup aurat yang sopan dan indah, menyantuni anak yatim, fakir miskin dan dlu‘afa’, pengobatan massal gratis, pengajaran dinul Islam dan al-Qur an gratis, mendirikan balai pengobatan didaerah minus, mendirikan tempat ibadah di daerah minus, mengelola simpan pinjam tanpa bunga, mengajarkan ilmu ketrampilan produktif, menjadi donatur tetap bagi pengentasan kemiskinan dan lain-lain.
Dalam jihad melalui dakwah ini, perempuan bisa mengambil peran sebagai pelaku, kalau memang ada kemampuan dalam diriny, tetapi jika tidak, perempuan bisa mengambil peran sebagai motor (penggerak), sebagai mediator (perantara/ penghubung), sebagai motivator (pendorong) atau peran-peran lain yang sesuai dengan kemampuan, situasi dan kondisinya.

Ad.5. Jihad melalui Kepemimpinan

Di hadapan Allah, orang yang paling mulia adalah orang yang paling bertaqwa, sebagaimana firmanNya dalam Quran surat al-Hujurat ayat 13 , yang artinya : "Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."
Ayat ini menggambarkan kesetaraan antara lelaki dan perempuan, di dalam ta‘aruf (saling kenal mengenal)pada umumnya membutuhkan martabat yang setara, dan selanjutnya dipaparkan bahwa hanya ketaqwaanlah yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya dihadapan Allah, bukan dari jenis kelaminnya.
Tentang kepemimpinan dalam keluarga, Allah mengangkat lelaki/ suami sebagai pemimpin, dengan syarat mempunyai kelebihan dan memberi nafkah pada istri. Sebagaimana firman Allah dalam Quran surat al-Nisa>’ ayat 34, yang artinya : "kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri  ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) . wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Tetapi jika dua syarat itu tidak ada pada suami dan justru istri yang memilikinya, dalam arti istri yang memberi nafkah keluarga, istri yang memiliki kelebihan, baik dalam hal ilmu agama maupun yang lain, maka berdasarkan pemahaman ayat ini, tersirat bahwa istri boleh menjadi pemimpin dalam keluarga.   Bahkan di dalam sholatpun, Nabi pernah memerintahkan seorang perempuan menjadi imam bagi lelaki. Hal ini terbukti dengan sabdanya, yang artinya : "Utsman bin Abu Syaibah bercerita pada kami, dari waki‘ bin Jaroh, dari Walid bin Abdullah bin Jami‘, ia berkata: Kakekku dan Abd. Rahman bin Khalad al-Anshari bercerita padaku dari Ummu Waraqah binti Naufal: Sesungguhnya Nabi Muhammad saw.ketika terjadi perang badar, saya berkata padanya: Wahai Rasul Allah, izinkan aku mengikuti perang bersamamu, saya mengobati orang-orang yang sakit, agar Allah memberiku syahid. Nabi bersabda tenanglah kamu di rumahmu, sesungguhnya Allah akan memberimu syahid, maka ia disebut syahidah.Dia telah membaca al-Quran, dan minta kepada Nabi agar diberi muadzdzin (orang adzan) dirumahnya. Dia memiliki budak mudabbar lelaki  dan perempuan. Suatu malam kedua budak itu membunuhnya dengan cara disekap (wajah/hidungnya), kemudian menghilang. Kemudian sahabat Umar memerintahkan untuk mendatangkan keduanya, dan keduanya disalib. Peristiwa inilah terjadinya penyaliban yang pertama di Madinah."
     
    Dan sabda Nabi, yang artinya : "Hasan bin Hammad al-Hadlrami> bercerita pada kami dari Muhammad bin Fudlail dari  al Wali>d bin Jami‘, dari Abd. Rahman bin Khallad, dari Ummu Waraqah binti Abd Lahin al-Harits, dengan hadits ini, dan yang pertama lebih sempurna. Dia berkata: Rasul Allah menziyarahi Ummu Waraqah di rumahnya dan beliau memberi seorang muadzdzin untuknya, dan memerintahnya untuk mengimami seisi rumahnya. Abd. Rahman berkata: Saya melihat muadzdzinya itu orang lelaki tua.
    Dalam hadits ini, diceritakan bahwa Nabi memerintahkan Ummu waraqah untuk mengimami sholat di rumahnya, dan makmum yang ada dalam isi hadits ini adalah budak lelaki dan perempuan serta orang yang adzan yaitu orang lelaki tua.
    Menurut pendapat al-Muzanni, Abu Tsaur dan al-Thabari, dalam kitab subulus sala>m juz 2 halaman 29 dan 35, memperbolehkan perempuan menjadi imam bagi suaminya yang belum pandai sholat dan membaca Quran. Pendapat ini juga berdasarkan pada kenyataan bahwa hadits riwayat Ibnu Majah dari Jabir yang antara lain menyatakan “ Sungguh seorang perempuan jangan  mengimami seorang lelaki” memiliki sanad yang lemah, seperti dinyatakan dalam kitab subulus salam juz 2 halaman 28, disamping karena ada hadits perintah amamah pada ummu Waraqah tersebut.
Menurut pendapat Prof.Dr. Hasyim Manan Guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya, dalam makalahnya yang disampaikan dalam seminar perempuan di Surabaya, bahwa lelaki menjadi imam sholat bagi perempuan itu prioritas bukan prinsip, dengan dasar dua hadits diatas.
 Hal ini membuktikan bahwa perempuan yang lebih benar dan lebih baik bacaan Qurannya lebih berhak menjadi imam dalam sholat di rumahnya dari pada lelaki yang kurang baik bacaan Qurannya dan menjadi imam dalam sholat jamaah dengan mereka.
Karena memang Nabi memberi syarat bahwa yang berhak menjadi imam dalam sholat adalah orang yang paling baik dan benar bacaan Qurannya dengan tidak menyebut jenis kelaminnya, sebagaimana sabda Nabi, yang artinya : "Abu Wali>d al-Thayalisi bercerita pada kami, dari Syu‘bah, dari Ismail bin Raja’, ia berkata: saya mendengan Aus bin Dlom‘akh bercerita dari Abu Mas‘u>d al-Badri berkata, Rasul Allah sawtelah bersabda: Kaum yang lebih berhak menjadi imam (sholat) adalah yang paling bagus bacaan Qurannya dan lebih dahulu, kalau sama, maka yang lebih dulu hijrah, kalau sama, maka yang lebih tua umurnya.
    Adapun dalam kepemimpinan secara umum, Allah tidak menentukan lelaki atau perempuan. Dalam al-Quran terdapat pengakuan yang sama antara lelaki dan perempuan dalam kepemimpinan, sebagaimana firman Allah dalam Quran surat al-Taubah, ayat 71, yang artinya : "dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Dan sabda Nabi, yang artinya : "Semua kalian adalah pemimpin dan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, dan seorang lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya dan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, dan seorang wanita pemimpin di rumah suaminya dan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya."
Dan firman Allah dalam surat al-Nahl ayat , yang artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik  dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Dan firman Allah dalam qur an surat al-Ahzab ayat , yang artinya : "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin , laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
    Dalam firman Allah dan sabda Nabi diatas jelas dapat dilihat bahwa Allah memberi kesempatan atau hak yang sama antara lelaki dan perempuan dalam kepemimpinan dan berkarya. Dalam sejarah dapat dilihat,  ‘Aisyah istri Rasul Allah pernah memimpin perang, Khadidjah memimpin perusahaan.
    Hambatan tentang kepemimpinan perempuan ini adalah kultur yang menempatkan perempuan di belakang. Syari’at Islam membolehkan perempuan menjadi pemimpin, asal memenuhi syarat sebagai pemimpin, yaitu ilmu, kemampuan, kecakapan dan ketrampilan yang memadai. Jika dalam kaum, diketahui yang lebih mampu dalam bidangnya (professional) dan lebih memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin itu perempuan, maka tidak ada alasan untuk tidak mengangkat pemimpin perempuan.
    Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. itu menghendaki bahwa suatu urusan itu harus ditangani oleh seorang pemimpin yang benar-benar ahli dalam bidangnya. Karena suatu urusan yang ditangani oleh orang yang bukan ahlinya, maka urusan itu tidak beres dan bahkan akan menemui saat kehancurannya, sebagaimana sabda , yang artinya : "Jika urusan atau perkara itu diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. 
    Sementara, sebagian ulama’ ada yang tidak sependapat terhadap kepemimpinan perempuan ini, dengan mengambil dasar sabda Nabi, yang artinya : "Tidak akan berbahagia kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.
    Asba>bul wuru>d dari hadits tersebut adalah kasus raja Persi yang meninggal dunia, dilanjutkan kekuasannya oleh putrinya yang memerintah dengan sistim monarchi absolute, ratu berkuasa di atas segala-galanya. Segala urusan diatur oleh dia yang kurang professional, akibatnya negara mengalami kemunduran. Sehingga bersabda dalam hadits ini.
    Sedangkan di Indonesia tidak demikian halnya, karena Negara republik. Semua para pemimpin di Negara Indonesia adalah pelaksana dari kebijakan dan ketetapan pemimpin seatasnya. Sehingga presidenpun adalah mandataris MPR, sebagai pelaksana saja dari ketetapan MPR dan Undang-Undang Dasar, bukan sebagai top leader dan policy maker semua urusan kaum.
    Dengan melalui kepemimpinan ini, perempuan dapat berjihad meninggikan ajaran Allah di mana saja dia beraktivitas, mengajak kebaikan mencegah kemungkaran, mengajak para perempuan menutup aurat, mentaati Allah, orang tua, suami dan pimpinan yang baik serta semua syariat Islam yang lain yang melibatkan perempuan dalam melaksanakannya, misalnya menciptakan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, keturunan yang sholeh sholehah dan lain-lain.

Ad. 6. Jihad Melawan Hawa Nafsu dan Godaan Syetan.

   Termasuk lapangan jihad bagi perempuan adalah berjihad melawan hawa nafsu. Hawa> berarti rendah dan nafsu adalah jiwa, jadi hawa nafsu adalah kemauan rendah jiwa. Hawa nafsu senantiasa mengajak pada keburukan kecuali nafsu yang dirahmati Allah, sebagaimana firman Allah dalam Qur an surat Yusuf ayat , yang artinya : "dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
Maka nafsu harus diperangi. Ketika Nabi pulang dari perang badar dengan mendapat kemenangan yang gemilang dari perlawanan musuh yang dahsyat, tetapi Nabi bersabda: Kita telah menang dari peperangan kecil, menghadapi perang yang besar, yaitu perang dengan nafsu. Karena menurut Nabi musuh yang paling besar adalah nafsu.
    Jihad melawan hawa nafsu ini berarti jihad melawan keburukan yang ada di dalam diri sendiri.Allah menciptakan jiwa  manusia dilengkapi dengan sifat fuju>r ( durhaka/ kefasikan) dan ketaqwaan, sebagaimana firmanNya dalam Qur an surat al-Syams ayat 7-, yang artinya : "dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
    Dalam ayat ini Allah menyebutkan kata fuju>r lebih dahulu daripada kata taqwa>. Hal ini memberi sinyal bahwa jiwa manusia itu yang asal adalah durhaka/ fasiq, oleh karena itu perlu dididik, diajar dan dilatih supaya bisa mencapai pada ketaqwaan.
Cara berjihad mengalahkan hawa nafsu dan godaan syetan ini antara lain adalah berupaya dengan sepenuh kemampuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan memperbanyak ibadah: shalat, dzikir, membaca al-Qur an, wirid, shalawat, berdoa, puasa, shadaqah dan lain-lain. Dan menjuhi larangan-laranganNya. Dan melihat sesuatu dari sisi hakikatnya, bukan dari sisi lahiriyahnya saja, minta perlindungan kepada Allah dari godaan syetan dengan membaca Qur an surat al-Na>s, setiap sebelum sholat dan setelah sholat ditambah dengan ayat kursi, al fa>tihah, al-Ikhla>s dan al-Falaq, dan dalam waktu-waktu tertentu ketika dibutuhkan.
Jika usaha sungguh-sungguh untuk berjihad memerangi hawa nafsu dan godaan syetan dengan menempuh cara sebagaimana tersebut di atas, maka Allah akan menunjukkan jalan kebahagiaan untuknya, sebagaimana Firman Allah dalam Quran surat al-Ankabut ayat 69, yang artinya : "dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik."

0leh Dr.Hj.Mihmidaty al-Faizah Afif,M.Pd.I.
Dr.Hj.Mihmidaty al-Faizah Afif,M.Pd.I.


Makalah ini di sampaikan Dalam Seminar Bahtsul Masa-Il Ke XIII Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri Se Jawa Timur Di Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang 2011