CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING 5


C.     Penerapan Contextual Teaching ang Learning di Pondok Pesantren dan Efektivitasnya
Pendidikan di Pondok pesantren adalah full day school yang sebenarnya, selama 24 jam peserta didik atau santri mendapat pembinaan dan bimbingan yang teratur dengan materi pendidikan integral yang mampu mengembangkan knowledge, attitude dan skill, mengembangkan fungsi jiwa; etika, estetika, intelektual, religi, leadership dan lain-lain, yang dicapai melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah, ketrampilan, kesenian, istighotsah, ibadah, dzikir, do’a dan lain-lain yang dilakukan diluar sekolah yaitu di pondok pesantren.
Dengan materi tersebut di atas, pendidikan di pondok pesantren bertujuan mencetak manusia yang sempurna yang dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al Baqoroh ayat 201 yang artinya :
“Wahai Tuhan kami berikan kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat dan hindarkan kami dari siksa api neraka “
Dan mampu mengamalkan serta mentranfer ilmu pengetahuan yang diperoleh di pondok pesantren kepada masyarakat setelah para santri pulang dari pondok pesantren, hal tersebut diperintahkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat at taubah ayat 122 yang artinya :
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Ayat ini menunjukan bahwa memperdalam agama yang biasanya di pondok pesantren, hukumnya fardlu kifayahdan diharapkan menjadi pemimpin bagi kaumnya setelah ia kembali pada mereka. Pemimpin masa kini dituntut bukan saja menguasai ilmu agama, tetapi juga ilmu umum, karena masyarakat yang di pimpin sudah semakin kritis dan sering heterogen, supaya bias menyesuaikan dengan situasi dan kondisi dan memang tuntutan zaman seperti itu.
Untuk mencetak kader pemimpin sebagaimana tersebut di atas, diperlukan strategi pendekatan pembelajaran yang produktif. Contextual Teaching and Learning adalah salah satu strategi pembelajaran dengan setting penerapan ilmu dalam kehidupan nyata (telah terdahulu bahasanya). Sebelum Contextual Teaching and Learning, model pembelajaran tradisional di pondok pesantren menggunakan cara wetonan dan sorongan. Di pondok Pesantren tradisonal, dua cara ini tetap  dilaksanakan tetapi di pondok pesantren modern telah dikombinasikan dan dikembangkan dengan Contextual Teaching and Learning.
Bagaimanakan penerapan Contextual Teaching and Learning ini di pondok pesantren ? Penerapan komponen-komponennya :
1.    Constructivism
Setelah santri mendapat pelajaran di kelas, santri menpraktekkan dan mengerjakan materi tersebut dalam kehidupannya sehari-hari di pondok pesantren di bawah bimbingan pengasuh atau guru di pondok pesantren. Hal ini memungkinkan dapat mencapai hasil maximal, misalnya pelajaran sholat fardlu dan sunnag, bahasa arab, inggris, akhlaq, mampu menguasai pelajaran umum yang lain.
2.    Inquiry
Komponen ini diterapkan oleh santri baik dikelas maupun di pondok pesantren, misalnya; santri menemukan sendiri cara menulis khot yang baik, perilaku yang baik atau buruk sebagai seorang muslim dan lain-lain.
3.    Questioning
Saling bertanya dikelas antara guru dengan santri, santri dengan guru, santri dengan santri, di pondok pesantren saling bertanya natara santri dengan santri dalam belajar kelompok, antara santri dengan pengasuh dan pengasuh dengan santri tentang materi pembelajaran, sebagaimana disampaikan oleh Hasbullah :”Kehidupan di pondok pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerja sama mengatasi problema non kurikuler mereka.”[1]
4.      Learning Community
Masyarakat belajar ini bias dilakukan oleh santri baik di kelas, di pondok maupun di masyarakat langsung. Di Kelas dengan membentuk kelompok, kerja kelompok dengan teman sekelas, di pondok belajar dan bekerja dalam kelompok dengan teman kelas seatasnya atau mendatangkan ahli dari kalangan santri selain yang sudah professional/ahli. Misalnya juara qiroĆ”h dan lain-lain. Dengan masyarakat langsung terutama dalam hal keterampilan, santri belajar bersama dengan masyarakat, baik dalam hal pertanian, koperasi, berdakwah dan lain-lain. Hal ini sebada dengan yang disampaikan Azyumardi Azra : “Pesantren semakin dituntut untuk Self Supporting dari self financing. Karena itu banyak pesantren di pedesaan, mengarahkan para santrinya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan vocational dalam bidang pertanian, seperti penanaman padi, kelapa, tembakau, kopi dan lain-lain. Hasil penjualannya digunakan untuk pembiayaan pesantren”[2]
Hal ini memungkinkan para santri pulang dari pesantren, bisa langsung terjun di masyaraat dan membangun lingkungannya bersama-sama, baik pembangunan bidang agama, ekonomi, budaya dan lain-lain.
5.      Modeling
Santri sudah terbiasa belajar dengan menjadikan seseorang atau beberapa orang sebagai model. Hal ini karena pelajaran-pelajaran, khususnya agama di pondok pesantren yang menyiapkan atau mencetak para pemimpin agama, harus benar-benar dikuasai oleh santri, maka praktek dengan meniru model mutlak dipelukan, misalnya sholat, haji, akhlaq, Al-Qur’an dll. Kemudian diterapkan dengan benar-benar dalam kehidupan di pondok pesantren. Yang menjadi model adalah pengasuh, para guru, para senior, teman sekelas, teman seatasnya, mengurus pondok, seseorang ahli yang didatangkan di pondok pesantren atau di kelas, dan lain-lain.
6.      Reflection
Para santri menerapkan refleksi ini dengan cara membuat majalah dinding, diskusi, menyampaikan hasil karya, usu atau saran yang merupakan ide-ide baru dari santri. Kadang-kadang santri merasa enggan untuk melakukan refleksi karena tawadlu’nya, tetapi di pondok pesantren modern telah tercipta keterbukaan guna peningkatan dari kondisi yang ada, baik di kelas maupun di pondok pesantren. Hal ini di ajarkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya :
HALAMAN 44
Artinya :
Katakanlah yang sebenarnya, meskipun (akibatnya) pahit.[3]
7.      Authentic Assessment, penilaian yang sebenarnya diterapkan baik di kelas maupun di pondok pesantren. Karena pelajaran agama ini penilaiannya adalah 40% hasil praktek, 30% hasil tugas-tugas dan 30% hasil test.[4] Maka penilaian dilaksanakan selama proses pembelajaran dan sesudahnya, teori dan praktek, berkesinambungan dan terintegrasi. Demikian juga untuk pelajaran umum. Penilaian meliputi aspek afektif, kognitif dan psychomotoric, attitude, knowledge dan skill.
Dari uraian tentang penerapan Contextual Teaching and Learning di pondok pesantren tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan Contextual Teaching and Learning di pondok pesantren ini sangat efektif, karena waktu belajar sepanjang hari dan malam, diawasi, dibina, dan dibimbing oleh belajar sepanjang hari dan malam, diawasi, dibina dan dibimbing oleh pengasuh, guru, pengurus dan teman sesama santri yang seatasnya. Dengan diterapkan peraturan pondok pesantren yang ditaati oleh santri, baik waktu, materi, kegiatan, tempat dan penanggungjawab pelaksanaannya.
Antara lain : waktu sekolah, belajar di pondok, pengajian kitab khitobah, dzikir, sholat, membaca Al-Qur’an, istirahat tidur, sholat tahajjud dan lain-lain.
Situasi dan kondisi tersebut di atas dibarengi dengan penerapan Contectual Teaching and Learning dalam proses pembelajarannya, memungkinkan pondok pesantren mampu mencetak santri yang menguasai ilmu agama dan umum.
D.    Hipotesis
Hipotesis merupakan rumusan jawaban sementara yang akan di uji kebenarannya dalam penelitian ini, yaitu :
1.    Ha : a. 1. Para guru di Pondok pesantren Hidayatullah Surabaya telah menerapkan komponen Contextual Teaching and Learning  yaitu konstruktivsm questioning, inquiry, learning community, modeling, reflection dan authentic assessment dalam mempersiapkan santri menguasai ilmu agama
2.    Para guru di Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya telah menerapkan komponen Contextual Teaching and Learning yaitu Construktixism, questioning, inquiry, learning community, modeling, reflection dan authentic assessment dalam mempersiapkan santri ilmu umum.
b. 1. Penerapan Contextual Teaching and Learning di PP. Hidayatullah dalam pembelajaran ilmu agama sudah efektif, dibuktikan dengan para guru telah melaksanakan komponen Contextual Teaching and Learning dan hasil prestasi belajar baik sekali, baik atau cukup.
2. Penerapan Contextual Teaching and Learning di PP. Haidayatullah dalam pembelajaran ilmu umum sedah efektif dibuktikan dengan para guru telah melaksanakan komponen Contextual Teaching and Learning dan hasil prestasi belajar baik sekali, baik atau cukup

2.         Ha : a. 1. Para guru di Pondok pesantren Hidayatullah Surabaya telah menerapkan komponen Contextual Teaching and Learning  yaitu konstruktivsm questioning, inquiry, learning community, modeling, reflection dan authentic assessment dalam mempersiapkan santri menguasai ilmu agama
3.    Para guru di Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya telah menerapkan komponen Contextual Teaching and Learning yaitu Construktixism, questioning, inquiry, learning community, modeling, reflection dan authentic assessment dalam mempersiapkan santri ilmu umum.
b. 1. Penerapan Contextual Teaching and Learning di PP. Hidayatullah dalam pembelajaran ilmu agama sudah efektif, dibuktikan dengan para guru telah melaksanakan komponen Contextual Teaching and Learning dan hasil prestasi belajar baik sekali, baik atau cukup.
2. Penerapan Contextual Teaching and Learning di PP. Haidayatullah dalam pembelajaran ilmu umum sedah efektif dibuktikan dengan para guru telah melaksanakan komponen Contextual Teaching and Learning dan hasil prestasi belajar baik sekali, baik atau cukup.


[1] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Logos Grafindo Persada, 1999), 14`1
[2] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisional dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. (Jakarta : PT. Logor Wacana Ilmu, 1999) 133
[3] Imam Turmudzi, Sunan Turmudzi, Jilid V  (Beirut : Dar Al Fikr, TT), 577
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum Tahun 1984 (Jakarta, 1983), 12

CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING 4


C.     Contextual Teaching and Learning Dalam Islam
Allah SWT adalah Tuhan seluruh alam semesta, segala sesuatu di alam ini bersumber dari Allah SWT, Demikian juga ilmu pengetahuan, seluruhnya bersumber dari Allah SWT. Allah lah yang mengajari makhluknya tentang ilmu dan segala sesuatu, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 31-32  yang artinya :
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana"
Manusia dan semua mkhluk tidak mengetahui apa-apa selain yang diajarkan Allah kepada mereka. Dan Allah melengkapi mereka dengan akal pikiran agar dapat digunakan untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya yang sudah dianugerahkan olehNya. Manusia didorong memaksimalkan penggunaan akal untuk menyelidiki, dan mengembangkan potensi alam, ilmu pengetahuan alam dan teknologi sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ar. Rahman ayat 33 yang artinya :
Hai golongan Jin dan Manusia jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan (dalam ilmu dan teknologi)

Dalam rangka menggali dan mengembangkan IPTEK ini tidak dapat dipisahkan dengan dunia pendidikan. Untuk memproduk sumber daya menusia yang menguasi IPTEK, dunia pendidikan senantiasa menggali strategi pembelajaran yang produktif, antara lain yang sedang dibahas ini adalah Contextual Teaching and Learning, bagaimanakah dasar dan penerapan Contextual Teaching and Learning ini dalam pendidikan Islam?
Kalau berbicara tentang pendidikan islam maka berbicara tentang pendidikan yang dimulai sejak Rasulullah SAW mendapat wahyu yang pertama yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pendidikan pada masa sahabat  (pengikut Nabi), tabiin (pengikut Nabi yang hidup setelah sahabat) sampai pada pendidikan  umat islam dewasa ini.
Pada masa awal pendidikan Islam, Cara Rasulullah SAW menyampaikan materi pendidikan (Al-Qur’an dan al Hadits), dan  para sahabat menerimanya, adalah sebagai berikut :
1.         Berangsur-angsur dalam pengajaran. sebagaimana disampaikan Imam al-Khathib :”Dalam menanamkan aqidah yang benar, ibadah, hukum, muamalah, akhlak yang utama serta memperkokoh iman dan dan kesabaran secara berangsur-angsur”[1]
Hal ini disampaikan pula oleh Nuruddin bahwa “Rasul SAW tidak menyampaikan hadits (materi pendidikan) secara beruntun, melainkan sedikit demi sedikit agar dapat meresap dalam hati “. [2] Penyampaian secara berangsur-angsur ini selain mudah meresap dalam hati, juga mudah dihafal dan diamalkan.
Hal ini menjadi dasar dan sekaligus penerapan dari komponen Contextual Teaching and Learning constructivism : bahwa “pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.[3] Materi pendidikan islam didominasi oleh ilmu amaliah, sehingga konteks ilmu dengan amal sehari-hari juga dominan, dalam arti membangun pengetahuan sedikit demi sedikit dan diterapkan dalam kehidupan nyata. Jika tidak demikian proses pembelajarannya, maka tidak mencapai hasil yang prima.
Demikian juga kalau melihat ayat yang pertama kali turun QS. Al Alaq ayat 1-5 yang artinya :
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan Tuhanmu yang maha pemurah . Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (pen). Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Ayat tersebut di atas menunjukan bahwa pertama kali islam datang, menyampaikan pesan “iqra’ = bacalah” bukan sekedar mendengar atau melihat dan selanjutnya pesan “proses belajar mengajar dengan baca tulis” untuk menguasai hal-hal yang belum diketahui”. Dalam hal ini terjadi proses “mengkontruksi” melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Ini adalah mengkontruksi tahap awal. Selanjutnya dikembangkan melalui akal manusia dengan berbagai maca, pendekatan dalam belajar.

2.         Implementasi atau penerapan Ilmu
Rasulullah mengajari sahabat sampai mereka faham maknanya, mengetahui hukumnya dan  menerapkan pada diri mereka. Sebagian sahabat ada yang mukim di sisi Rasul SAW. Untuk mempelajari hukum islam dan ibadah. Kemudian kembali kepada keluarga dan kaumnya untuk mengajari dan memahamkan materi- materi tersebut kepada mereka. Sebagaimana pernah dipraktekkan oleh Malik bin Huwairith yang mukim  selama 20 hari di sisi Rasul SAW. Kemudian beliau bersabda yang artinya :
Kembalilah pada keluargamu, ajarilah dan perintahlah mereka dan sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat dan apabila telah datang waktu sholat hendaklah seseorang melakukan adzan lalu yang lebih tua hendaknya menjadi imam[4] 
          Dari hadits tersebut diatas menunjukkan bahwa Rasulullah saw mengajarkan materi pokok Islam yaitu sholat dengan cara mempraktekkan, sedangkan para sahabat langsung melihat dan mengetahui dari Rasul SAW kemudian mempraktekkannya.[5] Sebagaimana Rasul melaksanakan.
          Hal ini menjadi dasar penerapan komponen Contextual Teaching and Learning inquiry (menemukan atau mengalami). Para sahabat melalui proses observasi terhadap cara ibadah Rasul, bertanya tentang hal-hal yang belum difahami, mengajukan dugaan dalam benaknya, mengumpulkan data dari prilaku Rasul dan sabda-sabdanya, kemudian  menyimpulkan.
Demikian yang dilakukan oleh para sahabat dalam proses belajar mengajar dengan Rasulullah SAW. Dalam hal menemukan sampai dengan menerapkan dan mentransfer pada orang lain, atas bimbingan Rasul SAW.
 Strategi pembelajaran  ini terus diterapkan dalam pendidikan Islam sejak zaman Rasulullah sampai sekarang, termasuk  di dalam  pondok pesantren, baik di pondok pesantren yang masih  tradisional, dalam arti pondok pesantren yang tidak memiliki lembaga pendidikan formal sampai dengan pondok pesantren yang modern sekarang ini.

3.         Bervariasi dan memperlihatkan tingkatkan yang berbeda-beda.
Rasul SAW memperhatikan tingkatan yang berbeda-beda, beliau memperhatikan kondisi para sahabat  yang hitrogen,  maka Rasul “menyampaikan materi bervariasi, karena jika terus menerus dalam pengajaran dan pengarahan dapat menimbulkan kebosanan dalam jiwa dan berdampak menjadi kecil daya gunanya”[6]
 Rasul Muhammad SAW memperhatikan perbedaan kemampuan otak, bagi orang yang sangat cerdas cukup dengan isyarat, sedangkan bagi orang yang hafalannya sangat bagus maka dengan penjelasan yang sekilas saja sudah mengena”[7]. Dalam hal pencatatan hadits, terhadap sahabat yang hafalannya kuat, Rasul melarang mereka menulis hadits, karena dihawatirkan nanti tercampur dengan al-Quran. Akan tetapi terhadap sahabat yang hafalannya lemah, Rasul mengizinkan mereka mencatat hadits atau dicatatkan oleh sahabat lain. Dan tetap diperhatikan penyimpanannya agar tidak diragukan tercampur dengan al-Quran.
 “Setelah belajar dari Rasul, kemudian para sahabat mengkaji isinya, ilmunya dan pengamalannya secara bersama-sama (berdiskusi)”[8]  “para wanita bertanya pada Rasul SAW dan beliau menjawab tentang urusan agama mereka. Hal ini sering terjadi kemudian Rasul SAW menentukan waktu khusus bagi mereka.[9] Pengajaran Rasul SAW tidak tergantung pada tempat yang terbatas dan kesempatan tertentu, bahwa jika ditanya atau dimintai fatwa di jalan, beliaupun memberi jawaban dan solusi dan dalam kesempatan apa saja yang memungkinkan.[10]
Pernyataan-pernyataan tersebut di atas mencerminkan betapa indah pengajaran yang diterapkan oleh Rasul SAW. Dan pada masa itu Rasulullah sudah melaksanakan pembelajaran dengan strategi Contextual Teaching and Learning pada komponen questioning (bertanya), bertanya dari sahabat pada Rasul, dari sahabat kepada sahabat yang lain termasuk di dalam diskusi. Hal ini juga diperintahkan Allah pada manusia sebagaimana firman-Nya dalam QS. An Nahl ayat 43 yang artinya :
Maka bertanyalah kalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan.

Demikian juga pada QS. Al Anbiya ayat 7 dengan redaksi yang sama. Hal ini juga menunjukan bahwa dalam proses belajar mengajar harus ada proses atau pendekatan saling bertanya (questioning).

4.         Mengadakan Majlis-Majlis Pengajaran
Semua majelis-majelis Rasul SAW adalah majlis ilmu. Rasul SAW menentukan waktu-waktu tertentu untuk mengajari sahabat. Mereka sangat ingin menghadiri majelis tersebut dengan sepenuh kemampuan dan perhatian. “Bahkan beberapa sahabat ada yang aplisan/bergiliran dengan temannya untuk mengikuti majelis ta’lim Rasulullah SAW dan menyampaikan hasilnya dari belajar itu kepada sahabat yang diajak bergiliran karena harus bekerja mencari ma’isyah. Mereka selalu mempelajari terhadap apa saja yang dipelajari dari Rasulullah SAW. Sampai mereka meresapi dan hafa”[11]
Rasulullah SAW juga mengutus sahabat untuk menyampaikan hokum dikalangan manusia. Contoh peristiwa yang menyebabkan kelahirannya.
Hadits :
Tidak termasuk golongan golongan kami orang yang menipu”[12]
Peristiwa-peritiwa tersebut diatas menunjukan bahwa pendekatan pembelajaran learning community (masyarakat belajar) telah diterapkan oleh Rasulullah SAW, kemudian lebih dikembangkan dan ditingkatkan pada proses pendidikan  dan pengajaran hingga kini.
Dalam learning community, pembelajaran dilaksanakan dalam kelompok-kelompok belajar, agar materi dimusyawarahkan dan dibahas bersama. Hal ini sebagai mana firman Allah dalam QS Al-Syuro ayat 38 yang artinya :
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka. (Al-Syuro : 38)

Dan dalam QS. Ali Imron ayat 159 yang artinya :
Dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan ini (duniawi), kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat, maka bertawakallah kepada Allah. (Ali Imron : 159).

Kedua ayat tersebut member pelajaran kepada manusia supaya bermusyawarah tentang masalah keduniaan seperti ekonomi, politik, pendidikan dan lain-lain. Kemudian pengejawantahan dari ayat ini dalam pembelajaran di kelas adalah berupa learning community (masyarakat belajar)

5.         Keteladanan Rasullah SAW
Dalam mengajari dan menguasakan materi tentang sholat, puasa, haji, berpergian, mungkin, muamalah, perjalanan hidupnya dan lain-lain, Rasulullah SAW menyampaikan melalui pemodelan keteladanan maupun peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang disaksikan oleh para sahabat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

(halaman 34)

Artinya :
Sholatlah sebagaimana kamu sekalian melihat saya sholat[13]

Dan hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Umar bahwa ia melihat Rasulullah Muhammad SAW, Abu Bakar, dan Umar berjalan di depan jenazah.[14]
Penjelasan tersebut menunjukan bahwa Rasulullah SAW melakukan pendidikan dan pengajaran islam dengan pendekatan komponen Contextual Teaching and Learning modeling (pemodelan). Dan memang Rasulullah SAW dijadikan model oleh Allah untuk mendidik manusia, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Ahzab ayat 21 yang rtinya :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab : 21)

Yang menjadi model adalah Rasulullah Muhammad SAW. Selain beliau juga ada model-model yang lain yaitu para sahabat khulafa ar rosyidin : Abu Bakar, Umar, Usman, Ali. Hal ini sebagaimana perintah Rasulullah SAW dalam sabdanya :

(halaman 36)


Artinya :
Maka kamu sekalian harus mengikuti perilaku dan perilaku Khulafa arrosyidin. [15]

6.         Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Rasulullah SAW dan dikalangan umat islam.
Jika terjadi peristiwa tertentu pada diri Rasulullah SAW atau peristiwa tertentu yang terjadi di kalangan umat islam, para sahabat bertanya pada Rsulullah SAW, tentang hukum dari peristiwa tersebut. Dan Rasulullah SAW member fatwa dan menjawab sejelas-jelasnya tentang hukum yang mereka tanyakan. Hal ini menunjukkan adanya reflection (refleksi) dalam proses pembelajaran.     Refleksi juga terjadi di kalangan para sahabat setelah mendapatkan materi pelajaran (Al-Qur’an dan al Hadits) dari Rasulullah SAW dengan mendiskusikan materi tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pada hakekatnya reflection (refleksi) merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima oleh murid sebagaimana tersebut di atas. Para sahabat membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru, untuk diamalkan atau dipraktekkan. Hal ini oleh Allah SWT. Diisyaratkan  dalam QS al Hasyir ayat 18 yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar manusia melakukan refleksi dan sekaligus evaluasi dari apa-apa yang sudah terjadi. Pengalaman adalah  guru yang terbaik, untuk dijadikan pelajaran perbaikan dan peningkatan pada masa yang akan datang.

7.         Evaluasi
Dalam proses pendidikan dan pengajaran Rasulullah SAW selalu memperhatikan kecakapan, perilaku dan kehidupan para sahabat, dari hasil pantauan ini Rasulullah SAW mengetahui persis sahabat yang kuat atau lemah hafalannya, yang cerdas atau lambat daya fikirnya, sehingga Rasulullah SAW dapat menyesuaikan tingkat pelajarannya kepada sahabat yang berbeda-beda itu.
Salah satu contoh dalam hal ini adalah tentang penulisan hadits “Abu Said” berkata : kami mohon izin kepada rasul untuk menulis hadits, tetapi beliau tidak mengizinkan kami”[16]
Namun di sisi lain diriwayatkan dari Rofii bin Khodij bahwa ia berkata “kami bertanya: wahai Rasulullah Muhammad SAW, kami mendengar sesuatu dari engkau, apakah saya boleh menulisnya? Beliau menjawab “tulislah dan tidak dosa”[17] Dalam kasus ini Rasulullah SAW “melarang untuk menulis hadits pada orang yang kuat hafalannya khawatir ada tergantungan pada tulisan, sedangkan pembolehan menulisnya pada orang yang lemah hafalannya”[18]
Penjelasan tersebut di atas menunjukan bahwa Rasulullah SAW telah melaksanakan authentic essessment (penilaian yang sebenarnya) penilaian dilaksanakan selama proses belajar dan sesudahnya berkesinambungan dan terintegrasi. Allah SWT juga mengisyaratkan pada pendidik agar melakukan authentic assessment (penilaian yang sebenarnya) ini, sebagaimana firman Nya dalam Al-Qur’an al Baqoroh ayat 284 yang artinya :
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu..
Penilaian Allah SWT bukan hanya lahiriyah atau yang tampak atau yang bisa dilihat indikatornya saja, tetapi menyangkut aspek batiniyah, hal yang tersembunyi, hal yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia tidak bisa didengar oleh telinga manusia, tidak bisa dilihat oleh mata authentic.
Dari seluruh penjelasan tentang Contextual Teaching and Learning dalam islam di atas dapat diketahui bahwa sumber ajaran islam baik Al-Qur’an maupun al Hadits telah mengajarkan agar dalam proses pendidikan dan pengajaran menerapkan Contextual Teaching and Learning agar tujuan pendidikan islam dapat tercapai dengan sebaik-baiknya yaitu insane kamil. Namun dalam perjalanan dan perkembangan pendidikan islam hingga masa kini, ada yang tetap melaksanakan strategi pendekatan islam hingga masa kini, ada yang tetap melaksanakan strategi pendekatan belajar mengajar sebagaimana yang diterapkan oleh Rasulullah SAW yang sarat dengan penerapan komponen Contextual Teaching and Learning tersebut ditambah dengan teori-teori modern sebagai penyempurnaannya. Ada pula yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta sarana prasarana yang ada, sehingga belum menerapkan apa yang disebut dengan Contextual Teaching and Learning tersebut ditambah dengan teori-teori modern sebagai penyempurnaannya. Ada pula yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta sarana prasarana yang ada, sehingga belum menerapkan apa yang disebut dengan Contextual Teaching and Learning tersebut. Hal ini akan berpengaruh dan berakhibat pada kwalitas lulusan sekolah.


[1] Muhammad Ajaj al Khotib, Ushul al Hadih Ulumuhu Wamus- tholahuhu (Beirut : Dar al Fikr 1981), 57
[2] Nurudin ITR, Ulum al Hadith Terjemahan Mujiyo (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 1994), 32
[3] Nurhadi, CTL, 10
[4] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid I (Beirut : Dar al Fikr, tt), 16.
[5] Al Khotib, Ushul, 51
[6] Imam Ahmad bin Ali Bin Hajar, Fathul Bari, Jilid VII (Ma’tabah Salafi, 1379), 390
[7] Al Khotib, Ushul, 62
[8] Al Khotib Ushul, 65
[9] Al Khotib Ushul, 65
[10] Ibid, 58
[11] Ibid, 67
[12] Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad, Jilid I (Beirut : Dar Al Fikr, TT), 12
[13] Imam Bukhari, Shahih Bukhari Jilid I, 162
[14] Ahmad, Musnad, Jilid VI, 247
[15] Imam Abu Dawud, Sunan Abu Dawud Juz IV ( Dar Al Fikr, tt), 206
[16] Muslim, Shahih Muslim bin Syarki an Nawawi, Jilid XVIII (Beirut : Dar Al Fikr, TT), 129
[17] Al Khatib al Baghdadi, Taqyidd al Ilm
[18] Al Khatib, Ushul, 152