ADOPSI, ANAK ZINA DAN ANAK
HASIL INSEMINASI BUATAN/BAYI TABUNG
A. Adopsi (Anak Angkat)
Orang yang tidak punya anak berusaha untuk
mendapatkan anak dengan cara mengambil anak orang lain sebagai anak angkat
(Adopsi). Cara mengangkat anak ada dua macam :
1.
Seseorang mengambil anak orang lain sebagai anak angkatnya karena merasa
kasihan kepada anak itu. Pendidikan anak tidak terurus, keperluan sehari-hari
susah didapat karena orang tuanya dihimpit penderitaan. Orang tua anak angkat
itu dengan jelas diketahui dan si bapak angkat (bapak asuh) pun tidak mengakui
anak itu sebagai anak kandungnya, dia hanya mengasuh dan mendidiknya. Bila hal
ini dikaitkan dengan perwalian dalam perkawinan (bagi anak perempuan) dan warisan, maka tetap
dihubungkan dengan orang tua kandungnya, tidak dengan bapak angkat (bapak
asuhnya) itu. Sekiranya bapak angkat bermurah hati memberikan sesuatu (harta)
kepada anak pungutnya, maka pemberian itu tidak atas nama warisan tetapi dapat
berbentuk hibah atau wasiat, asal saja wasiat itu tidak melebihi sepertiga
harta.
2.
Seseorang mengambil anak orang lain sebagai anak angkat dan anak tersebut
dipandangnya sebagai anak kandungnya, serta nasib anak tersebut juga di hilangkannya. Orang tua anak itu tidak lagi
disebut-sebut dan langsung dinasabkan kepada bapak angkat.
Cara seperti ini dilarang oleh Islam karena
memang tidak pantas menurut akal sehat bahwa seseorang mengingkari nasab
terhadap anak kandungnya sendiri dan sebaliknya mengakui anak orang lain
sebagai anak kandungnya sendiri dan sebaliknya mengakui anak orang lain sebagai anak kandungnya yang
bukan lahir dari tulang sulbi dan rahim istrinya. Hal ini berakibat akan
mengaburkan turunan dan pertalian darah.
Kalau kita melihat sejarah, maka pengangkatan
anak seperti yang disebutkan telah membudidaya pada masyarakat jahiliyah
sebelum Islam datang. Malahan Nabi Muhammad SAW pun pernah mengangkat Zaid bin
Haritsah sebagai anak angkat.
Zaid dibeli oleh Hakim bin Hazaam untuk Siti
Khadijah (bibinya) dan setelah kawin dengan Nabi Muhammad SAW, Zaid diberikan
kepada beliau. Kemudian setelah orang tua Zaid tahu bahwa Zaid berada bersama
Nabi, dia diminta supaya bisa kembali bersama orang tuanya itu. Nabi menyuruh memilih apakah Zaid mau kembali
kepada orang tuanya atau tetap bersama beliau. Ternyata Zaid memilih Rasululloh
SAW dan sejak itu masyarakat tahu dan menyebut “Zaid bin Muhammad”, bukan Zaid
bin Haritsah lagi.
Agama Islam membatalkan dan tidak mengakui adat-istiadat
yang berlaku di masa jahilaiyah itu karena berdampak negatif. Anak angkat
dipandang sebagai anak kandung, yang semuanya boleh dikawin, kemudian diharamkan (mahram).
Hukum mubah menjadi haram dan hukum haram (terlarang) menjadi mubah, seperti bergaul
dengan bebas dengan anak angkat yang berlainan jenis kelamin dan dengan sesama
anak, karena pada hakikatnya anak angkat itu adalah orang lain dalam lingkungan
keluarganya. Berkenaan dengan hal ini Allah SWT berfirman yang artinya :
“Allah
sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam keluarganya dan
Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu dzihar itu sebagai ibumu, dan Dia
tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri) yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di
sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama, dan maula-maulamu (budak yang sudah
merdeka). Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Al Ahzab : 4-5)
Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat dipahami
bahwa anak angkat tidak boleh disamakan statusnya dengan anak kandung dalam segala
hal, seperti perwalian, warisan dan kewajiban-kewajiban lainnya. Bahkan Islam
membenarkan seseorang kawin dengan anak angkatnya. Begitu juga anak kandung
dengan anak angkatnya itu.
Agar umat tidak berada dalam keraguan,
disamping penetapan hukum dengan perkataan (firman Allah), juga diikuti dengan
penetapan hukum dengan perbuatan, yaitu Allah menyuruh Nabi Muhammad SAW kawin
dengan bekas istri Zaid bin Haritsah yang bernama Zainab bin Jahsy.
Hal ini hendaknya dapat dipahami bahwa Nabi
dibenarkan kawin dengan Zainab karena tidak ada hubungan darah antara Nabi
dengan Zaid bin Haritsah.
Pihak luar Islam melihat persoalan ini dari
segi negatifnya bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengawini bekas istri anak angkat
beliau itu, padahal penetapan Allah itu hanya mempertegas bahwa anak angkat itu
tidak sama dengan anak kandung.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa seseorang dapat memungut dan mengangkat anak asal saja nasab anak
tersebut tidak dihilangkan. Semua ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi anak
kandung tidak boleh diberlakukan bagi anak pungut dan anak angkat.
Islam menghendaki bahwa pemungutan dan
pengangkatan anak lebih dititikberatkan kepada kemanusiaan yaitu perawatan,
pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut, bukan karena alasan-alasan lain.
B. Anak Hasil Zina
1. Pengertian Zina dan Anak Hasil Zina
Zina menurut Jurjani ialah :
اَلْوَطْءُ فِى قُبُلِ خَالِ عَنْ مَلِكٍ
وَشُبْهَةٍ
Artinya : “Memasukkan
penis (zakar) ke dalam vagina (farj) bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak
ada unsur subhat (keserupaan atau kekeliruan).”
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa
suatu perbuatan dapat dikatakan zina apabila sudah memenuhi dua unsur, yaitu :
1.
Ada persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya.
2.
Tidak ada keserupaan atau kekeliruan (syuhbat) dalam perbuatan seks.
2. Status Hukum Anak Zina
Anak zina menurut pandangan Islam adalah suci
dari segala dosa karena kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak
tersebut, tetapi kepada kedua orang tuanya (yang tidak sah menurut hukum).
Di dalam hadits disebutkan :
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ - رواه البخار -
Artinya : “Tidak
setiap anak dilahirkan kecuali suci bersih (menurtu fitrah).” (HR. Bukhari)
Di dalam Al Qur’an Allah berfirman :
wr& âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& ÇÌÑÈ
Artinya : “(yaitu)
bahwasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (An
Najm : 38)
Oleh sebab itu anak hasil zina pun harus
diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran dan ketrampilan
yang berguna untuk bekal hidupnya di masa yang akan datang.
Tanggung jawab mengenai segala keperluan anak
itu, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya yang
melahirkan dan keluarga ibunya itu. Sebab,
anak zina hanya mempunyai nasab dengan ibunya saja. Demikian juga halnya dengan
hak waris mewarisi, sebagaimana dinyatakan dalam hadits :
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً لاَعِنَ إِمْرَأَتَهُ فِى زَمَنِ النَّبِى
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَانْتَقَى مِنْ وَلَدِهَا فَفَرَّقَ
اَالنَّبِيُّ بَيْنَهُمَا اَلْوَلَدُ بِالْمَرْأَةِ - رواه البخارى وابو داوود -
Artinya : “Dari
Ibnu Umar bahwa seorang laki-laki telah meli’an istrinya di zaman Nabi SAW, dan
dia tidak mengakui anak istrinya (sebagai anaknya(, maka Nabi menceraikan
antara keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada si istri.” (HR. Bukhori
dan Abu Daud).
Mengenai status anak zina ini ada tiga
pendapat, yaitu :
a.
Menurut Imam Malik dan Syafi’i, anak zina yang lahir setelah enam bulan
perkawinan ibu bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya.
b.
Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya
karena diduga ibunya itu telah melakukan hubungan seks dengan orang lain.
Sedangkan batas waktu hamil paling kurang enam bulan.
c.
Menurut Imam Hanifah, anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya
(bapaknya) tanpa mempertimbangkan masa kehamilan si ibu.
3. Beberapa akibat negatif dari zina
Islam menganggap zina sebagai tindak pidana
(jarimah) yang sudah ditentukan sanksi hukumnya dan ketentuan ini sudah pasti
ada tujuannya. Salah satu tujuannya adalah agar manusia tidak terjerumus kepada
perbuatan terkutuk yang dimurkai Allah SWT. Dan bertentangan pula dengan akal
sehat.
Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah dengan tegas
mengatakan bahwa zina itu termasuk tindak pidana dengan alasan-alasan :
1)
Zina dapat menghilangkan nasab (keturunan) dan dengan sendirinya
menyia-nyiakan harta warisan ketika orang tuanya (tidak sah) meninggal dunia.
2)
Zina dapat menyebabkan penularan penyakit yang berbahaya bagi orang yang
melakukannya, seperti penyakit kelamin dan sebagainya.
3)
Zina merupakan salah satu sebab terjadinya pembunuhan karena rasa cemburu
yang ada pada setiap manusia.
4)
Zina dapat menghancurkan keutuhan rumah tangga dan meruntuhkan eksistensinya. Bahkan lebih dari
itu dapat memutuskan hubungan keluarga.
5)
Zina hanya merupakan sekedar hubungan yang bersifat sementara karena itu
zina termasuk perbuatan binatang.
4. Akibat hukum bagi anak zina
Apabila anak dilahirkan secara tidak sah, maka
ia tidak dapat dihubungkan dengan bapaknya (tidak sah), kecuali hanya pada
ibunya saja. Dalam hukum Islam, anak tersebut tetap dianggap sebagai anak tidak
sah dan berakibat :
1)
Tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang mencampuri ibunya (secara
tidak sah).
2)
Tidak ada saling mewarisi dengan laki-laki itu dan hanya waris mewarisi
dengan ibunya saja.
3)
Tidak dapat menjadi wali bagi anak perempuan karena dia lahir akibat
hubungan di luar nikah.
Sebagai akibat dari ketentuan hukum tersebut
di atas, merambat pula masalahnya kepada masalah kejiwaan si anak tadi. Cepat
atau lambat, pasti akan diketahuinya dan aib itu merupakan corengan arang yang
sulit dihapus. Jiwanya merasa tertekan sepanjang hidupnya karena cemoohan dari
masyarakat sekitarnya. Walaupun dalam pandangan agama Islam anak itu tidak
menanggung dosa akibat perbuatan orang tuanya.
C. Hukum Inseminasi Buatan Pada Manusia
Sejalan dengan perkembangan Iptek Kedokteran
yang canggih dewasa ini, maka inseminasi buatan pada manusia juga mengalami
perkembangan yang pesat, sehingga kalau ditangani oleh orang-orang yang tidak
beriman dan bertaqwa dikhawatirkan dapat merusak peradaban umat manusia, bisa
merusak nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa serta akibat-akibat negatif
lainnya yang tidak terbayangkan oleh kita sekarang. Sebab apa yang bisa
dihasilkan oleh teknologi belum tentu bisa diterima dengan baik oleh agama,
etika dan hukum yang ada dalam masyarakat.
Inseminasi buatan dilihat dari asal sperma
yang dipakai dapat dibagi menjadi dua :
1.
Inseminasi buatan dengan sperma sendiri atau AIH (Artificial Insemination Husband).
2.
Inseminasi buatan dengan bukan sperma sendiri atau lazim disebut donor atau
AID (Artificial Insemination Donor).
Untuk inseminasi buatan pada manusia dengan
sperma suami sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian
disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan
dilakukan di luar rahim (bayi tabung), maka hal ini dibolehkan asal keadaan
suami dan istri tersebut benar-benar membutuhkan untuk memperoleh keturunan.
Hal ini telah disepakati oleh para ulama.
Diantaranya menurut Mahmud Syaltut bahwa bila
penghamilan itu menggunakan air mani si suami untuk istrinya, maka yang
demikian itu masih dibenarkan oleh hukum dan syariat yang diikuti oleh
masyarakat yang beradab. Lebih lanjut beliau katakan “…dan tidak menimbulkan dosa dan
noda”. Disamping itu tindakan yang demikian dapat dijadikan sebagai suatu cara
untuk memperoleh anak yang sah menurut syariat yang jelas ibu bapaknya.
Alasan lain dibolehkan inseminasi buatan
dengan sperma suami sendiri adalah karena ada kelainan perangkat dalam diri istri maupun
suami atau karena si suami telah kehabisan spermanya yang telah disumbangkan
kepada bank sperma ketika ia masih subur. Terlepas dari itu semua, asal
inseminasi itu dilakukan dengan sperma suami yang sah hal itu dibolehkan,
sehingga anak yang lahir adalah anak yang sah dan jelas ibu bapaknya.
Jadi pada prinsipnya dibolehkan inseminasi itu
bila keadaannya benar-benar memaksa pasangan itu untuk melakukannya dan bila
tidak akan mengancam keutuhan rumah tangganya (terjadi perceraian) sesuai
dengan kaidah ushul fiqih :
الجَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ
Artinya : “Hajat
itu (keperrluan yang sangat penting diberlakukan seperti keadaan darurat).”
Demikian pula pendapat Yusuf el-Qardlawi,
“Apabila pencangkokan yang dilakukan itu bukan air mani suami, maka tidak
diragukan lagi adalah suatu kejahatan yang sangat buruk sekali dan suatu
perbuatan munkar yang lebih hebat daripada pengangkatan anak.”
Adapun inseminasi buatan dengan sperma donor
disamping sebagiannya dilakukan karena ada kelainan pada perangkat dalam dan
sebagiannya lagi dilakukan tidak karena alasan kesehatan
melainkan karena alasan dan motivasi lain. Dikatakan oleh Mahmud Syaltut bahwa
sementara ahli pikir memperluas teori mereka sebagai usaha
memperbanyak jumlah manusia untuk tujuan perluasan daerah atau sebagai ganti
dari manusia yang banyak meninggal karena wabah atau penyakit atau peperangan.
Lebih lanjut beliau katakana dengan dua tujuan itu, maka penghamilan buatan
menurut para ahli pikir yang ceroboh itu dianggap sebagai tindakan
yang diperbolehkan. Dengan demikian mereka telah menyamakan kedudukan
pengembangbiakan pada hewan dan tumbuh-tumbuhan dengan penghamilan buatan pada
manusia.
Inseminasi buatan dengan menggunakan sperma
donor, para ulama mengharamkannya seperti pendapat Yusuf el-Qardlawi katanya “…Islam juga
mengharamkan apa yang disebut pencangkokan sperma (bayi tabung), apabila
ternyata pencangkokan itu bukan dari sperma suami….”
Lebih tegas lagi dinyatakan oleh Mahmud
Syaltut bahwa “…setelah ditinjau dari beberapa segi penghamilan buatan adalah
pelanggaran yang tercela dan dosa yang besar. Perbuatan itu setaraf dengan zina
dan akibatnya pun sama pula, yaitu memasukkan mani orang asing ke dalam rahim
perempuan yang antara kedua orang tersebut tidak ada hubungan nikah secara
syara’ yang dilindungi hukum syara’.”
Pada inseminasi buatan dengan menggunakan
sperma suami sendiri tidak menimbulkan masalah pada semua aspeknya, bahkan
ulama memujinya sebagai suatu cara untuk membantu pasangan mandul untuk
memperoleh keturunan yang sah. Tidak demikian halnya pada inseminasi buatan
yang menggunakan sperma donor, maka hal itu telah banyak menimbulkan masalah
diantaranya masalah nasab.
Demikianlah pendapat ulama tentang inseminasi
buatan dengan sperma donor yang sangat ditentang karena tidak sesuai dengan
etika dan moral atau kesusilaan. Selain itu, juga berpengaruh negatif dan buruk
terhadap kejiwaan orang-orang yang bersangkutan diantaranya :
a.
Bagi suami yang sah, kehadiran anak itu akan mengganggu pikirannya. Si
suami akan merasa lemah dan kerdil jika anak tersebut dapat tumbuh dan berparas
cantik, sebab dia tidak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa anak itu
bukanlah anaknya yang sebenarnya.
b.
Bagi si istri yang telah menimang seorang bayi mungil, pada umumnya akan semakin
mencintai suaminya karena telah memberinya anak yang sangat
dicintainya. Tetapi anak tersebut adalah hasil inseminasi buatan yang bukan
berasal dari suaminya. Jika nanti anak itu tumbuh subur, gagah dan brilian,
tentu istri ingin mengetahui laki-laki hebat yang telah memberinya anak untuk
menyatakan terima kasih dengan cara sendiri atau untuk hal-hal lain yang
mungkin akan menggiringnya ke arah perzinaan.
c.
Bagi si anak, secara naluriah lambat laun akan merasakan ada ketidakberesan
pada dirinya, jika ia telah mengetahuinya, maka ia akan mengalami kegoncangan
jiwa yang lebih hebat dari yang dialami anak pungut.
Sebagai kesimpulan dari uraian di atas adalah
:
1.
Inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri menurut hukum Islam adalah
boleh.
Inseminasi
buatan dengan sperma donor adalah haram dan status anaknya sama dengan status
anak zina dalam masalah waris dan perwalian dalam perkawinan.
Assalamu’alaikum…
BalasHapusSaya mau tny tentang apkh hukumnya mengadopsi adik sendiri(seayah lain ibu).ayah saya menduda setelah ibu saya meninggal lalu beberapa tahun kemudian menikah siri di usia 65 tahun dengan seorang janda yg usianya 64 tahun.setelah hampir setahun ternyata ibu tiri saya hamil.saya kaget karena selama ini sdh bertahun tahun ibu tiri saya ternyata sudah menopause tp bs hamil.saya kasihan dg ayah dan ibu tiri saya yang sudah tua tapi akan punya anak lagi.sedangkn sy sudah hampir 8 tahun menikah blm dkruniai keturunan.niat saya jika anak tersebut lahir(bs dsebut adik saya seayah lain ibu)mau saya adopsi sbg anak angkat.alasan saya lainnya ingin mengadopsi sbg anak angkat jg krn ayah sy menikah siri shg sy khawatir nti dlm pngurusan akta kelahiran adik sy tsb bs sulit,sy jg brpikir drpd sy mengadopsi anak org lain yg kurang jelas asal muasalny.sy bimbang krn sprtiny tidak ada sejarah nabi n tdk prnah sy dngar ada orang mngadopsi adik sndiri.kalau mengadopsi keponakan,sy sering mndengarnya.sdgkn sy jk hrs mngadopsi kponakan sprtiny blm bs krn adik2 sy pun yg telah menikah blm dberi ktrunan jg.terus apakah boleh nanti adik saya itu kl sdh lahir memanggil saya dg sebutan ibu dan memanggil suami saya dg sebutan ayah.itu pertanyaan dari saya,atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.wassalamu’alaikum wrwb..
Bagaimana sebutan anak yg dilahirkan karna perbuatan zinah dikarenakan perempuannya stres atau depresi hikang ingatan, dan bagimana cara mengadopsi anak trsbt agar nantinya tidak ada pergolajan dijiwanya setelah besar. Apakah boleh menggunakan nasab ayah . Apahak anak ini tergolong dari ayat yg ini dan apa maksudnya.
BalasHapusArtinya : “Memasukkan penis (zakar) ke dalam vagina (farj) bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur subhat (keserupaan atau kekeliruan).”
kelinci99
BalasHapusTogel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
yukk daftar di www.kelinci99.casino