KELUARGA BERENCANA DAN KEPENDUDUKAN


KELUARGA BERENCANA DAN KEPENDUDUKAN


A.    Pandangan Al Qur’an Tentang KB
Dalam Al Qur’an Allah berfirman yang artinya:
 “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An Nisa‘ : 9)

Ayat tersebut di atas memberi petunjuk supaya setiap keluarga (orang tua) memikirkan masa depan anak cucunya, jangan sampai menjadi generasi yang lemah fisik dan mentalnya.  Lemah fisik, bisa karena kurang pangan (gizi) dan karena perawatan kesehatan tidak sempurna.  Lemah mental bisa karena kurang pendidikan agama. Jadi keperluan anak dalam bidang materiil dan spirituil harus seimbang, supaya masyarakat yang ditinggalkan oleh orang tua, adil dan makmur dan mendapat ridho dari Allah SWT.
Selaku muslim mendambakan, disamping sejahtera di akhirat, juga sejahtera di dunia, sebagaimana dinyatakan dalam Firman Allah SWT yang artinya:
 “Dan di antara mereka ada yang berdo’a: “ Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksaan api neraka ”.” (Al Baqarah : 201)

Orang akan mendapat kebaikan di dunia dan di akhirat, apabila terpenuhi keperluan hidupnya dalam bidang materiil dan spirituil cukup banyak dan memerlukan ketekunan.
Agar manusia berbuat seimbang, tidak berat sebelah Allah SWT memberi petunjuk firmanNya yang artinya:
 “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al Qoshosh : 77)

Mengenai perawatan anak dan penyusuan bayi, juga dinyatakan dalam Al Qur’an, Allah berfirman yang artinya:
 “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum 2 tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberika pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al Baqarah : 233)

Firman Allah yang artinya:
 “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukur kepadaKu dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu.” (Lukman : 14)

Firman Allah yang artinya :
 “Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang ibu bapaknya, ibu yang mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30 bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya 40 tahun ia berdo’a “Ya Tuhanku tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku supaya aku dapat berbuat amal yang sholeh yang Engkau ridhoi. Berikanlah kebaikan kepadaku dengan (memberikan kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Al Ahqof : 15)

Allah berfirman yang artinya:
 “Yang demikian (siksaan) itu adlah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkannya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Anfaal : 53)

Allah berfirman yang artinya :
 “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan yang disampaikan rezekinya, hendaklah member nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Ath Tholaq : 7)

Dari ayat-ayat tersebut di atas ada beberapa petunjuk yang perlu kita laksanakan dalam kaitannya dengan KB :

1.      Menjaga Kesehatan Istri
Kesehatan ibu si anak perlu dipelihara/dijaga dengan baik. Maksudnya kesehatan jiwanya diperhatikan karena beban jasmani dan rohani selama dia hamil, melahirkan, menyusui dan merawat, anak selanjutnya. Berkenaan dengan ini Al Qur’an memberikan petunjuk, supaya si ibu menyusukan anaknya selama dua tahun. Selama dua tahun itu si ibu (selama menyusui), biasanya tidak hamil. Hal ini berarti kehamilan itu sudah dapat dijarangkan paling kurang dua setengah tahun. Dengan demikian si ibu tidak menderita.

2.      Memikirkan / Memeprtimbangkan Kepentingan Anak
Sesudah anak lahir, maka kesehatan jasmani dan rohaninya perlu mendapat perhatian secara wajar, disamping kepentingan pendidikannya di masa mendatang. Air susu ibu perlu diberikan supaya bayi sehat. Disamping bayi sehat, kehamilanpun dapat dijarangkan.


3.      Memperhtungkan Biaya Hidup Berumah Tangga
Untuk memenuhi keperluan keluarga, baik moril maupun materiil menjadi tanggung jawab suami (ayah si anak), kendatipun dalam soal moriil ibu ikut berperan aktif dalam menddik anak. Seorang suami harus dapat memperhitungkan pendapatannya setiap hari/bulannya dan berapa orang yang dapat dibiayai dari hasil pencariannya itu. Jangan sampai si ibu , anak dan suami sendiri sebagai bapak rumah tangga menderita. Yang menjadi pertimbangan bukan hanya biaya untuk sandang, pangan dan papan (rumah) saja, tetapi juga biaya pendidikan dan kesehatan dan keperluan lainnya, sehingga dapt hidup secara wajar dalam suatu rumah tangga.

4.      Mempertimbangkan Suasana Keagamaan dalam Rumah Tangga
Biasanya orang bias saja lalai dan lupa terhadap kewajibannya kepada Allah, kalau dihimpit oleh penderitaan hidup. Kalau sudah lupa kepada Allah, maka tipis harapan si bapak dan si ibu dapat menghidupkan suasana keagamaan dalam rumah tangga. Sedangkan ketenteraman dan ketenangan jiwa hanya dapat dicapai dengan jalan mengamalkan ajaran agama. Hal ini berarti bahwa tujuan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat diwujudkan sebagaimana telah disinggung pada uraian dahulu.

B.     Pandangan Al Hadits
Dalam hadits Nabi disebutkan :

اِنَّكَ إِنْ تَذَرَ وَرِثَتَكَ اَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ إِنْ تَذَرَهُمْ عَإِلَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ
Artinya : “Sesungguhnyalebih baik bagimu, meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan dari pada meninggalkan mereka menjadi beban/tanggungan orang banyak.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih)

Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa suami istri sepantasnya mempertimbangkan tentang biaya rumah tangga selagi keduanya masih hidup dan sepeninggalnya nanti. Jangan sampai si anak menderita, apalagi menjadi beban bagi orang lain. Dengan demikian, pengaturan kelahiran anak hendaknya dipikirkan bersama oleh suami istri.

Nabi bersabda :

اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِّيُ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْف (رواه المسلم)
Artinya : “Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah.” (HR. Muslim)

Pada hadits lain disebutkan :

كُنَّا نُعْزِلَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْقُرآنُ يَنْزِلُ . (متفق عليه)
Artinya : “Diriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata : Kami melakukan a’zal  (coitus interuptus) di masa Rasulullah SAW, pada waktu ayat-ayat Al Qurán masih diturunkan (dan tidak ada satu ayatpun yang melarangnya).” (HR. Muttafaqun ‘Alaih)

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَجُلاً اَتَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : إِنَّ لِى جَارِيَةٌ وَهِيَ خَادِمَتُنَا وَسَاقَيْتُنَا وَأَنَا أَطْرَفُ إِلَيْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ فَقَالَ : أَعْزِلْ عَنْهَا إِنْ شِئْتَ فَاَنَّهُ سَيَاءْ تِيْهَا مَا قُدِرَلَهَا فَلَبِثَ الرَّجُلَ ثُمَّ اَتَاهُ فَقَالَ : إِنَّ الْجَارِيَةَ قَدْ حَمَلَتْ قَالَ : قَدْ أَخْبَرْتُكَ أَنَّهُ سَيَأْتِيْهَا قَدَّ رَلَهَا . رواه مسلم .
Artinya : “Diriwayatkan dari Jabir ra, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah seraya berkata : “Sesengguhnya saya mempunyai seorang jariyah (budak), Ia adalah pelayan dan pengambil air kami/penyiram kami. Saya ingin melakukan hubungan seks dengan dia, tetapi saya tidak ingin dia hamil.” Lalu Nabi bersabda : “Lakukanlah a’zal (coitus interuptus) padanya jika engkau kehendaki. Sesungguhnya apa yang ditakdirkan Allah padanya pasti akan terjadi.” Kemudian laki-laki itu pergi, lalu dating lagi setelah berselang beberapa waktu dan berkata kepada Nabi : “Sesungguhnya jariyah say sudah hamil.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda : “Bukankah sudah saya katakan kepadamu, bahwa apa yang sudah ditakdirkan Allah padanya pasti terjadi.” (HR. Muslim)

Kedua hadits tersebut, menjelaskan bahwa a’zal yang dilakukan dalam usaha menghindari kehamilan dapat dibenarkan oleh Islam.
Suatu upaya belum tentu berhasil sesuai yang dikehendaki, sebagaimana yang diceritakan dalam hadits di atas. Bila Allah berkehendak, pasti hamil juga.
Berdasarkan pengalaman orang yang menjalankan KB, bahwa orang yang menggunakan kondom dan spiralpun ada kalanya hamil juga.

C.    Pandangan Ulama-Ulama Islam
Mengenai Keluarga Berencana atau setidak-tidaknya mencegah kehamilan sebelum “Keluarga Berencana” dikenal sekarang, sejak dahulupun ada di antara ulama yang memperbolehkannya dan ada pula yang tidak memperbolehkannya.
1.      Ulama-ulama yang memperbolehkannya
a.       Imam Al Ghazali
Dalam kitabnya, “Ihya ‘Ulu muddin” dinyatakan bahwa a’zal tidak dilarang, karena kesukaran yang dialami si ibu disebabkan sering melahirkan.
Motifnya antara lain :
·      Untuk menjaga kesehatan si ibu, karena sering melahirkan.
·      Untuk menghindari kesulitan hidup, karena banyak anak.
·      Untuk menjaga kecantikan si ibu.
b.      Syekh Al Hariri (Mufdi Besar Mesir)
Syekh Al Hariri berpendapat bahwa menjalankan KB bagi perorangan (individu) hukumnya boleh dengan ketentuan :
-          Untuk menjarangkan anak.
-          Untuk menghindari suatu penyakit, bila mengandung.
-          Untuk menghindari kemudaratan, bila mengandung dan melahirkan dapat membawa kematinya (sacara sadis).
-          Untuk menjaga kesehatan si ibu, karena setiap hamil selalu menderita suatu penyakit (penyakit kandungan).
-          Untuk menghindari anak dari cacat fisik bila suami atau istri mengidap penyakit kotor.
c.       Syekh Mahmud Syaltut
Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa pembatasan keluarga bertentangan dengan syariat Islam. Umpamanya, membatasi keluarga hanya dengan 3 anak saja dalam segala macam kondisi dan situasi. (Dalam bahasa inggris disebut “Birth Control”).
Sedangkan pengaturan kelahiran, menurut beliau tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Umpamanya menjarangkan kelahiran karena situasi dan kondisi khusus, baik yang ada hubungannya dengan keluarga yang bersangkutan, maupun ada kaitannya dengan kepentingan mayarakat dan negara. Alasan lain yang membolehkan adalah suami atau istri mengidap penyakit yang berbahaya yang dikhawatirkan menular kepada anaknya.

2.      Ulama-ulama yang Melarang
a.       Prof. Dr. M.S. Madkuor Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Hukum Islam pada Fakultas Hukum, dalam tulisannya : “Islam dan Family Planning” dikemukakan antara lain bahwa beliau tidak menyetujui KB jika tidak ada alasan yang membenarkan perbuatan itu. Beliau berpegang pada prinsip “Hal-hal yang mendesak membenarkan perbuatan terlarang.”
b.      Abu ‘Ala Al Maudusi (Pakistan)
Al Maududi adalah seorang ulama yang menentang pendapat orang yang membolehkan pembatasan kelahiran. Menurut beliau Islam satu agama yang berjalan sesuai dengan fitrah manusia. Dikatakannya : “Barangsiapa yang mengubah perbuatan Tuhan dan menyalahi undang-undang fitrah adalah memenuhi perintah setan.” Setan itu adalah musuh manusia. Beranak dan berketurunan itu adalah sebagian fitrah tersebut menurut pandangan Islam. Salah satu tujuan yang utama dari perkawinan itu ialah mengekalkan jenis manusia dan mendirikan suatu kehidupan yang beradab.
Disamping pendapat-pendapat di atas, ada juga para ulama yang menggunakan dalil-dalil yang pada prinsipnya menolak KB, diantaranya firman Allah yang artinya :
 “...dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka…” (Al An’am : 151)
Firman Allah yang artinya :
 “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Al Isro’ : 31)

Tidak memberi kesempatan untuk hidup, sama halnya dengan membunuh walaupun tidak secara langsung. Alasannya karena takut melarat (miskin). Padahal Allah menjamin rizki hamba-hambaNya.
Sabda Rasululloh SAW :

تَزَوَّجُوْا اَلْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ فَإِنِى مُكَاثِرًبِكُمُالآُمَمُ (اخرجه ابو داود والنسائ)
Artinya : “Kawinilah wanita yang mempunyai sifat kasih sayang dan banyak anak, karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya kamu dengan umat-umat lain.” (Hadits dikeluarkan oleh Abu Daud dan An Nasai)
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW sangat merasa bangga apabila umat beliau banyak. Menjalankan KB berarti memperkecil jumlah umat. Secara lahiriah memang demikian tetapi tentu yang dikehendaki adalah umat yang banyak dan berkualitas, sebagai pengikut setia beliau, bukan penentang ajaran Islam yang beliau bawa.
Terlepas dari perbedaan pendapat yang telah dikemukakan di ats, maka penulis berpendapat bahwa ada empat hal pokok yang menjadi pertimbangan masing-masing individu dalam melaksanakan KB.
1.      Segi ekonomi. Suami, istri hendaknya mempertimbangkan mengenai pendapatan dan pengeluaran dalam rumah tangga.
2.      Segi sosial. Suami istri hendaknya dapat memikirkan mengenai pendidikan anak, kesehatan keluarga, perumahan dan keperluan rekreasi untuk keluarga.
3.      Segi lingkungan hidup. Biasanya kalau penduduk banyak, sedang sarana tidak memadai, maka akan terjadi kerusakan lingkungan, seperti sampah, limbah yang kotor, air yang tidak bersih dan lain-lain. Hal ini memang tidak hanya tertuju kepada satu keluarga saja, tetapi berlaku umum dan menyangkut dengan kepadatan penduduk.
4.      Segi kehidupan beragama. Ketenangan hidup beragama dalam suatu keluarga banyak faktor penentunya, seperti faktor ekonomi, sosial, lingkungan tempat tinggal, kemampuan ilmu yang dimiliki suami istri dalam mendidik anak dan keharmonisan antara semua keluarga.



D.    STERILISASI
Sterilisasi adalah memandulkan lelaki atau wanita dengan jalan operasi (pada umumnya) agar tidak dapat menghasilkan keturunan. Dengan demikian sterilisasi berbeda dengan cara/alat kontrasepsi yang pada umumnya hanya bertujuan menghindari atau menjarangkan kehamilan untuk sementara waktu saja.
Sterilisasi pada lelaki disebut vasektomi atau vas ligition, yaitu operasi pemutusan atau pengikatan saluran/ pembuluh yang menghubungkan testis (pabrik sperma) dengan kelenjar prostat (gudang sperma), sehingga sperma tidak dapat mengalir keluar penis (uretra). Sterilisasi pada lelaki termasuk operasi ringan, tidak memerlukan perawatan di rumah sakit dan tidak mengganggu kehidupan seksualnya. Lelaki tidak kehilangan sifat kelelakiannya karena operasi.
Sedangkan sterilisasi pada wanita disebut tubektomi atau tuba ligition, yaitu operasi pemutusan hubungan saluran/pembuluh sel telur (tuba falopii) yang menyalurkan ovum dan menutup kedua ujungnya, sehingga sel telur tidak dapat keluar dan memasuki rongga rahim, sementara itu sel sperma yang masuk ke dalam vagina wanita itu tidak mengandung spermatozoa sehingga tidak terjadi kehamilan walaupun coitus tetap normal tanpa gangguan apapun.
Sterilisasi baik untuk lelaki (vasektomi) maupun untuk wanita (tubektomi) sama dengan abortus bisa berakibat kemandulan sehingga yang bersangkutan tidak lagi mempunyai keturunan. Karena itu, International Planned Parenthood Federation (IPPF) tidak menganjurkan negara-negara anggotanya termasuk Indonesia untuk melaksanakan sterilisasi sebagai alat atau cara kontrasepsi. IPPF hanya menyarankan kepada negara-negara anggotanya untuk memilih/cara kontrasepsi yang dianggap cocok dan baik untuk masing-masing. Dalam hal ini pemerintah Indonesia secara resmi tidak pernah menganjurkan rakyatnya untuk melaksanakan sterilisasi sebagai cara kontrasepsi dalam program Keluarga Berencana (KB), karena melihat akibat sterilisasi yaitu kemandulan selamanya dan menghormati aspirasi umat Islam di Indonesia.
Sterilisasi baik untuk lelaki maupun untuk wanita pada dasarnya haram (dilarang), karena ada beberapa hal yang prinsipil, yaitu :
1.      Sterilisasi (vasektomi/tubektomi) berakibat kemandulan tetap. Hal ini bertentangan dengan tujuan pokok perkawinan menurut Islam, yakni perkawinan lelaki dan wanita selain bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan suami istri dalam hidupnyadi dunia dan akhirat, juga untuk mendapatkan keturunan yang sah yang diharapkan menjadi anak yang sholeh sebagai penerus cita-citanya. Walaupun dari segi teori masih mungkin menghasilkan keturunan bila ikatan itu dilepas kembali.
2.      Mengubah ciptaan Tuhan dengan cara memotong dan menghilangkan sebagian tubuh yang sehat dan berfungsi (saluran mani/telur).
3.      Melihat aurat orang lain. Pada prinsipnya Islam melarang melihat aurat orang lain.

Tetapi apabila aurat itu diperlukan untuk kepentingan medis, maka sudah tentu Islam membolehkan, karena keadaan semacam itu sudah sampai ke tingkat darurat, asal benar-benar dilakukan untuk kepentingan medis dan melihat sekedarnya saja (seminimal mungkin). Hal ini berdasarkan kaidah hukum Islam yang menyatakan :

مَا أُبِيْحُ للِضَّرُوْرَةِ بِقَدْرِ تَعَذُّرِهَا
Artinya : “Sesuatu yang dibolehkan karena terpaksa adalah menurut kadar halangannya.”

Tetapi apabila suami istri dalam keadaan darurat/terpaksa, seperti untuk menghindari penurunan penyakit dari bapak/ibu terhadap anak keturunannya yang bakal lahir atau terancam jiwa si ibu bila ia mengandung atau melahirkan bayi, maka sterilisasi dibolehkan dalam Islam. Hal ini berdasarkan kaidah hukum yang meyatakan :

اَلضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْضُوْرَاةِ
Artinya : “Keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang.”

Dari uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa agama Islam itu membenarkan KB dengan cara sterilisasi (vasektomi/tubektomi) karena hal itu berarti telah merusak organ tubuh dan juga dapat mengakibatkan kemandulan selamanya sehingga yang bersangkutan tidak dapat memperoleh keturunan, kecuali karena darurat, misalnya karena dikhawatirkan menurunkan penyakit yang diderita oleh ayah/ibu terhadap janin yang dikandungnya atau terancam keselamatan jiwa si ibu jika ia mengandung atau melahirkan bayi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar