KEPEMIMPINAN WANITA


KEPEMIMPINAN WANITA


Agama Islam adalah agama yang diturunkan ke bumi melalui Rasululloh SAW untuk merahmati pada seluruh manusia di alam, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al Anbiya‘ ayat 107 yang artinya “Allah tidak mengutus Rasululloh SAW melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi manusia di alam”, tidak dibedakan apakah manusia itu perempuan atau laki-laki.
Dihadapan Allah SWT manusia yang paling mulia adalah orang yang paling bertaqwa kepada Nya sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Hujurat ayat 13 yang artinya:
 “Wahai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling”

Ayat ini menggambarkan kesetaraan wanita dan pria. Di dalam ta’aruf  (saling kenal mengenal) membutuhkan martabat yang setara dan selanjutnya dipaparkan bahwa hanya ketaqwaanlah yang membedakan manusia yang satu dengan yang lain di hadapan Allah SWT, bukan dari jenis kelaminnya.
Kemudian tentang kepemimpinan, pada umumnya masyarakat menganggap bahwa yang berhak melaksanakan tugas kepemimpinan adalah kaum laki-laki, yang biasanya mendasarkan pada firman Allah dalam surat An Nisa’ayat 34 yang artinya:
 “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan kaena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Dari ayat tersebut dapat dilihat bahwa laki-laki diangkat menjadi pemimpin atas wanita karena alasan punya kelebihan dan memberi nafkah dari hartanya. Berarti ayat ini hanya menunjukkan kepemimpinan suami atas istri dalam lingkup keluarga saja. Bagaimana atas alasan itu diambil oleh wanita/istri? Berdasarkan pemahaman dari ayat tersebut di atas terdapat kesan bahwa perempuan itu boleh menjadi kepala rumah tangga apabila di dalam dirinya terdapat kelebihan dan kemampuan dibandingkan yang lain, seperti kemampuan mencari nafkah, menghidupi keluarga, kemampuan untuk mengambil keputusan yang benar, pengetahuan luas atau keterampilan dan figur seorang pemimpin, maka layak bagi dirinya menjadi pemimpin dalam lingkup keluarga.
Adapun kepemimpinan secara umum, Allah tidak menentukan pria atau wanita. Dalam Al Qurán terdapat pengakuan yang sama antara pria dan wanita dalam hal kepemimpinan. Al Qur’an surat At Taubah ayat 71 yang artinya :
 “Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan sebagian mereka adalah menjadi penolong (pemimpin) bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh yang makruf mencegah yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan RasulNya.” (QS. At Taubah : 71)

Nabi bersabda :

كُلُّكُمْ رَاءٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ فَالإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى أَهْلِهِ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ وَالْمَرْأَةُرَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَتِهَا         

Artinya: “Setiap kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya, seorang imam adalah pemipin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya, seorang pria pemimpin bagi keluuarganya akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya dan seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan anak-anaknya dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.”


Firman Allah SWT dalam surat An Nahl ayat 97 yang artinya:
  “Barang siapa yang berkarya baik, laki-laki atau perempuan dan dia beriman, maka sungguh akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Dari ayat dan hadits di atas jelas dapat dilihat bahwa Allah SWT memberi hak yang sama pada pria dan wanita dalam kepemimpinan dan berkarya. Dalam sejarah dapat dilihat Siti Aisyah ra pernah memimpin perang, Siti Khadijah memimpin perusahaan (perdagangan). Hambatan tentang kepemimpinan wanita ini adalah kultur yang menempatkan wanita di belakang pihak yang merasa dirugikan jika wanita tampil dalam kepemimpinan ajaran Islam membolehkan wanita menjadi pemimpin, asal memenuhi syarat sebagai pemimpin, yakni kemampuan yang memadai. Jika terdapat pria dan wanita, sedangkan yang diketahui lebih mampu dalam bidangnya adalah justru yang wanita untuk diangkat jadi pemimpin, maka tidak ada alasan untuk tidak mengangkat pemimpin wanita. Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW menghendaki suatu urusan itu ditangani oleh seorang pemimpin yang benar-benar ahli dalam bidangnya. Karena satu urusan yang ditangani atau dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya maka urusan tersebut tidak akan selesai bahkan akan menemui saat kehancurannya.

Nabi Muhammad SAW bersabda :

إِذَا وُسِدَاْلآَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةِ

Artinya: “Jika suatu urusan diserahkan orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Bukhari)

Sementara sebagian ulama ada yang tidak sependapat tentang kepemimpinannya wanita ini dengan mengambil dasar sabda Nabi Muhammad SAW :

لَنْ يُفْلِحَ الْفَوْمٌ وَلَوْ أَمْرُهُمْ إِمْرَأَةً

Artinya: “Tidak akan berbahagia kaum yang menguasakan / menyerahkan urusan mereka pada seorang wanita.”

Asbabul wurud dari hadits tersebut adalah kasus Raja Persia yang meninggal dunia, dilanjutkan kekuasaannya oleh putrinya yang memerintah dengan sistem monarkhi absolut, ratu berkuasa di atas segala-galanya, segala urusan diserahkan padanya (absolut), sedangkan di Indonesia tidak demikian halnya, para pemimpin tingkat seatasnya, sampai-sampai kalau saja ada wanita yang menjadi presiden atau perdana menteri misalnya, pada dasarnya ia sebagai pelaksana saja dari ketetapan MPR atau Undang-Undang Dasar bukan sebagai top leader dan policy maker semua urusan kaum.
Sedangkan dalam hal imamah sholat bagi wanita dalam musnad Ahma, Rasululloh SAW memerintahkan (bukan hanya sekedar memperbolehkan) pada Ummu Waroqoh (termasuk salah satu sahabat yang bertugas mengumpulkan Al Qur‘an) untuk menjadi imam keluarga di rumahnya, padahal ada mu’adzin pria dan anak laki-laki, bunyi haditsnya :

وَعَنْ اُمِ وَرَقَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ اَهْلَ دَارِهَا

Artinya: “Dan dari Ummu Waroqoh ra, bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan padanya untuk menjadi imam (sholat) bagi anggota keluarganya.”

Jadi masalahnya bukan prinsip imam sholat harus pria, tetapi prioritas saja. Bahkan hadits yang melarang wanita menjadi imam sholat bagi pria justru tidak shahih.
Menurut pendapat Al Muzani, Abu Tsur dan Ath Thobroni di dalam kitab Subulus Salam juz 2 halaman 29 dan 35 memperbolehkan wanita / istri menjadi imam bagi suami yang mu’alaf (baru memeluk Islam dan belum pandai sholat).
Pendapat tersebut antara lain berdasarkan pada kenyataan bahwa hadits riwayat Ibnu Majjad dari Jabir yang antara lain menyatakan:

وَلاَ تَؤُمَنَّ إِمْرَاةٌ رَجُلًا

Artinya: “Sungguh seorang wanita jangan menjadi imam bagi pria.”

Memiliki sanad yang lemah seperti dinyatakan dalam kitab Subulus salam juz 2 halaman 28. Disamping itu, karena ada hadits perintah imamah pada Ummu Waroqoh tersebut di atas.
Namun demikian menurut riwayat Ad Daruquthni dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan anggota keluarga Ummu Waroqoh adalah para wanitanya, sehingga Ibnu Rasyid menganggap Abu Tzur dan AthThobroni. Adalah pendapat yang syadz (langka).
Dengan demikian dapat diambil pengertian bahwa seorang wanita menjadi imam sholat bagi pria diperbolehkan terutama dalam keadaan terpaksa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar