MONOGAMI DAN POLIGAMI


MONOGAMI DAN POLIGAMI


A.    Monogami
Kalau kita melihat dengan cermat seksama, maka asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami. Ketentuan tersebut terdapat dalam Al Qur’an. Allah SWT berfirman yang artinya: “…kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinlah) seorang saja…. (An Nisa’:3)
    
Ayat di atas member petunjuk bahwa kawin dengan seorang wanita, itulah yang paling dekat kepada kebenaran, sehingga terhindar dari berbuat aniaya.

Dalam menerjemahkan kalimat terakhir dari ayat tersebut di atas, yaitu :
زلك أدنى ألّا تعولوا
Ada beberapa versi, diantaranya :
·         Departemen agama dalam Al Qur’an dan terjemahannya menyebutkan : “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
·         Kemudian A. Hasan dalam tafsir Al furqaan menerjemahkan : “itu” dengan “kamu terhindar dari berlaku aniaya”.
·         Selanjutnya perhatikan pula terjemahan Ibrahim Husein dalam bukunya “Fikih Perbandingan” yaitu “Hal yang demikian itu sekurang-kurangnya kamu tidak berlaku curang”.

Kita lihat kendati ada sedikit perbedaan terjemahan antara yang satu dengan yang lain, tetapi semuanya tetap memperlihatkan maksud yang sama, yaitu dianjurkan supaya tetap beristri satu saja. Kemudian diperingatkan bahwa orang yang beristri lebih dari satu, dapat mendekatkan seseorang kepada perbuatan sewenang-wenang, aniaya atau melakukan kecurangan, berkata dusta dan perbuatan tercela lainnya serta ketidakadilan.
Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an surat An Nisa’ayat 129 yang artinya : “Dan kalian tidak akan bisa adil diantara istri-istrimu meskipun kalian sangat menginginkan.”

Rasulullah SAW juga bersabda :

مَنْ كَانَ لَهُ إِمْرَئَتَانِ فَمَالَ اِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَا مَةَ وَشَفِهِ مَائِلِ
Artinya : “Barang siapa yang memiliki istri dua lalu ia tidak adil diantara keduanya maka ia datang pada hari kiamat nanti separoh badannya miring.”

B.     Poligami
Apabila orang berbicara tentang poligami, maka langsung orang mengira bahwa Agama Islam adalah sebagai pelopor memasyarakatkan poligami. Padahal poligami dalam pandangan Agama Islam merupakan pintu darurat yang hanya sewaktu-waktu saja dipergunakan. Umpamanya saja pintu darurat yang ada pada pesawat terbang, hanya dalam keadaan terpaksa saja dapat dibuka dan dimanfaatkan. Dalam situasi biasa (aman), malahan dilarang membukanya.
Untuk menghilangkan anggapan yang kurang benar itu, di dalam tulisan ini dicoba menjelaskan sekilas lintas mengenai sejarah poligami.
Sebenarnya poligami sama tuanya dengan sejarah kehidupan umat manusia, yaitu jauh sebelum Agama Islam dating. Bangsa-bangsa terdahulu seperti Yahudi memperbolehkan penganutnya berpoligami, bahkan tanpa batas tertentu.
Bentuk poligami pun bermacam-macam, ada seorang laki-laki mempunyai beberapa orang istri. Ada lagi seorang laki-laki mempunyai istri simpanan, disamping beberapa orang istri yang sudah ada. Demikian juga halnya dengan bangsa Ibrani, Cicilia dan bangsa Arab telah terbiasa dengan poligami. Dengan demikian tidak benar tuduhan yang dialamatkan kepada Agama Islam yang melahirkan poligami.
Pada bangsa-bangsa yang tidak beragama Islam pun berlaku poligami seperti Afrika, India, Cina dan Jepang. Sebenarnya agama Kristen juga tidak melarang poligami sebab di dalam injil tidak ada satu ayatpun dengan tegas melarang poligami.
Para pemeluk Kristen bangsa Eropa, dahulu mempunyai adat istiadat hanya boleh kawin dengan seorang wanita saja. Hal ini disebabkan karena sebagian besar bangsa Eropa penyembah berhala yang kemudian didatangi oleh agama Kristen, adalah orang-orang Yunani dan Romawi yang terlebih dahulu telah mempunyai kebiasaan yang melarang poligami. Setelah mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan dan adat-istiadat nenek moyang mereka tetap dipertahankan dalam agama baru ini.
Jadi, sistem monogami yang mereka jalankan bukanlah berasal dari agama Kristen, tetapi merupakan warisan agama berhala (paganisme). Kemudian gereja mengambil alih paham yang berkembang dalam masyarakat dan akhirnya melarang poligami dan dinyatakan sebagai ajaran agama.
Sebagai bandingan dapat dikemukakan bahwa di Indonesia pun masih kita temukan paham-paham yang ada dalam agama Hindu dan Budha, diamalkan oleh sebagian umat Islam dan bercampur dengan Agama Islam yang mereka anut. Tradisi nenek moyang masih melekat walaupun sudah memeluk Islam.
Poligami tidak berkembang dan terjadi dalam masyarakat, kecuali pada bangsa-bangsa yang telah maju, sedangkan pada bangsa-bangsa yang masih primitif jarang terjadi. Hal ini diakui oleh Sosiologi dan Budayawan seperti Westermark, hobbes, heles dan Jean Bourge.
Pendapat di atas kalau kita perhatikan memang ada benarnya, sebab biasanya orang kalau sudah berada (kaya), sudah punya kedudukan dan kekuasaan ingin menambah istri. Apakah menempuh jalan yang dibenarkan oleh undang-undang atas persetujuan istri pertama, kedua dan atau istri ketiga, ataupun menempuh jaln kawin di bawah tangan secara sembunyi-sembunyi.
Kita juga melihat kenyataan bahwa pada masyarakatyang belum majupun dan anggota masyarakat yang masih kekurangan ada saja yang berpoligami kendatipun jumlahnya tidak menonjol sebagaimana pada masyarakat yang sudah maju.
Lebih berbahaya lagi seorang laki-laki yang mempunyai istri tetapi mempunyai wanita-wanita simpanan (tidak kawin secara syah), atau memilih wanita-wanita yang bebas lepas seperti wanita tuna susila.
Kendatipun praktek semacam ini tidak termasuk dalam pembicaraan poligami tetapi bahayanya malah lebih besar dari poligami itu sendiri.

Masalah poligami ini dalam kompilasi hukum Islam disebutkan pada pasal 55 :
1)      Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
2)      Sarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3)      Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Selanjtnya dalam pasal 56 disebutkan :
1)      Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat ijin dari pengadilan agama.
2)      Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa ada ijin dari pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan hokum.

Kemudian pasal 57 disebutkan “pengadilan agama hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila” :
a.       Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.       Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Untuk memperoleh ijin dari pengadilan agama disamping persyaratan yang disebutkan pada pasal 55 ayat 2, ditegaskan lagi oleh pasal 58 ayat1 yaitu :
a.       Adanya persetujuan istri
b.      Adanya kepastian bahwa suami mempu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

Kalau umat Islam mempedomani pasal 55, 56, 57 dan 58 di atas, maka tipis kemungkinan orang berpoligami. Umpamanya kita lihat walaupun pasal 55 ayat (1) memberi peluang boleh beristri sampai empat orang dalam waktu yang bersamaan, namun ayat (1) ini dikunci ayat (2), yaitu harus berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak. Timbul pertanyaan, apakah ada orang yang mempu melakukannya? Apalagi kalau pasal 55 ayat (2) dikaitkan dengan pasal 58 ayat (1) a dan b bahwa harus ada persetujuan dari istri dan berdasarkan penyelidikan pengadilan agama, orang yang bersangkutan benar-benar mampu dalam soal materi untuk menjamin kehidupan keluarga.
Kemudian apabila pasal 55 ayat (1) kita kaitkan dengan pasal 57 (a) dan (c), apakah benar istri pertama, kedua dan ketiga terkena pasal 57 (a) dan (c) itu? Hal ini pun barangkali jarang terjadi. Sebab kalau kita perhatikan kenyataan dalam masyarakat diantara istri-istri itu hampir semuanya mempunyai anak. Demikian juga sukar diterima oleh akal yang sehat, apakah istri pertama, kedua dan ketiga, semuanya tidak mempunyai anak dan tidak dapat menjalankan kewajiban mereka selaku istri.
Mengenai poligami ini, sebenarnya masih ada problem lain yang dihadapi dan sukar mengatasinya. Kasusnya seperti berikut ini :
§  Orang sukar lolos untuk berpoligami, karena terjaring dengan pasal-pasal yang disebutkan di atas. Namun ada orang yang menempuh jalan lain, yaitu kawin di bawah tangan dan hal ini sah menurut hukum Islam apabila rukun nikah telah terpenuhi. Bila sewaktu-waktu terjadi perceraian, tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan karena perkawinannya tidak tercatat di KUA (Kantor Urusan Agama) dan dianggap tidak resmi. Perkawinan di bawah tangan berdampak tidak baik bagi pribadi si suami, karena mau tidak mau dia harus mencari celah dan bahkan berdusta kepada istrinya bila akan pergi kepada istri yang dikawini di bawah tangan tadi. Perbuatan dosa setiap saat terus menumpuk karena hampir setiap saat harus berdusta.
§  Ada orang yang tidak dapat terjaring dengan pasal-pasal yang disebutkan di atas karena orang tersebut tetap mempunyai istri satu orang, tetapi dia melakukan kawin cerai. Kalau dihitung dia mempunyai banyak istri, malahan ada yang lebih dari empat orang dan pada umumnya mempunyai keturunan. Dari segi hukum dia sukar dituntut, tetapi dari segi moral banyak orang yang terlantar dan disengsarakan, yaitu mantan istri-istri dan aka-anaknya.

Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa penegakan hukum tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, apabila tidak ada kesadaran hukum dan sikap mental yang berlandaskan agama Islam dari semua pihak.
Apa sebabnya penulis mengharapkan kesadaran dari semua pihak? Karena persoalan ini tidak hanya tertuju pada pria saja (suami) tetapi juga tertuju pada wanita (istri).
Pada dasarnya si wanita memang anti poligami, enggan dimadu. Tetapi mengapa ada di antara wanita yang bersedia dijadikan istri kedua, ketiga, atau keempat? Hal ini mungkin saja terjadi karena diperkirakan istri yang muda lebih mendapat perhatian dan tumpahan kasih sayang dari suaminya. Akhirnya perkiraan berkisar materi (harta), perhatian dan tumpahan kasih sayang dari suami dan tuntutan supaya tidak dimadu sudah menjadi tuntutan kedua. Umpamanya seseorang bersedia dikawini, asal istri pertama diceraikan. Tragisnya si wanita tadi tidak mau dimadu dan dengan demikian ada orang lain yang menjadi korban, yaitu istri yang diceraikan itu bersama dengan anaknya.
Kemudian ada lagi kita lihat kejanggalan-kejanggalan yang lain, yaitu apabila ada wanita yang bersedia kawin di bawah tangan, menjadi istri kedua, keyiga atau keempat. Muncul pertanyaan apakan si wanita itu tidak menyadari bahwa kawin di bawah tangan itu dilakukan karen calon suaminya telah mempunyai istri.
Dalam kasus poligami dan kawin cerai yang memerlukan pemikiran, yaitu masalah pendidikan anak, biaya hidup sehari-hari dan waktu luang yang tersedia utnuk keluarga.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah monogami, sedangkan poligami juga tidak tertutup rapat dan tidak terbuka lebar. Kesadaran hukum dan sikap mental yang baik sangat diutamakan dalam suatu perkawinan, agar tidak berdampak negatif terhadap semua pihak. Lebih penting lagi adalah pendidikan anak jangan sampai dikorbankan karena tuntutan yang bersifat individu (pribadi).

1 komentar:

  1. kelinci99
    Togel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
    HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
    NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
    Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
    Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
    segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
    yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
    yukk daftar di www.kelinci99.casino

    BalasHapus